Tendangan Maut
Tokoh utama kisah kali ini adalah Phillips Andrew Fitzgerald Pangemanan, anak angin angkatanku, ibunya kebetulan seorang guru di Smansa. Layaknya Srimulat yang memiliki tokoh pelengkap penderita semacam Bambang Gentolet atau Gogon, begitu juga dulu Phillips diperlakukan oleh beberapa anak angin. Setiap tingkah lakunya selalu dijadikan bahan olok-olok. Paling enak memang, menggunakan Phillips sebagai bahan candaan. [Phillips, melalui tulisan ini, kusampaikan permintaan maaf sedalam-dalamnya, karena pernah memperlakukanmu tidak sewajarnya. Harus kuakui, Phillips adalah salah satu kawan terbaik.]
Berbicara tentang Phillips, more »
Ceritangin Needs Contributor(s)
Hah… setelah hampir tiga bulan bernostalgia dengan menulis tentang angin dari kacamata ingatan saya, ingin rasanya menghadirkan sekelebat sekelumit nostalgia angin dari kacamata ingatan kawan-kawan yang lain. Saya ingin sekali membaca tulisan kawan-kawan. Bukan sekedar tulisan berupa komentar dalam postingan saya. Tapi tulisan berupa postingan dari kawan-kawan, nanti giliran saya yang komentar. Tidak hanya dari generasi 90-an, tapi juga dari generasi 2000-an, atau bahkan 80-an kalau ada. Nantinya, blog title di atas juga akan berganti menjadi hanya Nostalgia Angin. So, dengan ini saya umumkan, CERITANGIN MEMBUTUHKAN KONTRIBUTOR! more »
Mejogedbumbungan di Kerambitan [Mas Ari’ Nganten]
Takkan pernah kubiarkan dunia berhenti berputar
Takkan pernah
Anak-anak berlari dalam suka abadi
Kupanggil namamu dari tempat yang jauh
Adakah kau mendengar dengan rasa rindu
Tangan, kaki, serasa lepas
Mengembara dalam kesenangan sendiri
Tapi… biarkan mereka berlari….
Seperti kami… membentangkan tangan….
Lihatlah! Langit begitu luas untuk kehadiranmu
Puisi di atas adalah sebuah puisi dari Sthiraprana Duarsa, berjudul Biarkan Anak-anak Berlari. more »
Aku Ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
[Aku Ingin, Sapardi Djoko Damono]
Membelah Bali [7]
Tak terasa, pagi di Kintamani menjadi awal hari kelima perjalanan kita bertiga. Sebelum melanjutkan mengayuh sepeda, aku, Adhi, dan Ardita sempat foto bareng dengan anak laki-laki si Ibu penjaga warung, umur sepuluh tahunan. Matanya berbinar riang, mungkin itu pertama kali dia difoto. Mungkin juga terpikir di benaknya, “Suatu saat aku ingin seperti kakak-kakak yang gagah perkasa ini….” Lalu, hanya ucapan terima kasih yang kita tinggalkan.
Jalanan masih menanjak. Menurut perhitungan Ardita, yang lumayan menguasai daerah di sana, hari itu juga kita bisa sampai di desanya, Manukaya, Tampaksiring, Gianyar. Selambat-lambatnya kayuhan sepeda kita, more »
Membelah Bali [6]
Meninggalkan Gitgit relatif lebih mudah. Pertama, karena rem sepedaku sudah mantap. Kedua, karena cuaca tidak lagi hujan. Ketiga, tentu saja karena jalanan yang menurun, walaupun masih berkelok, jadi tidak diperlukan power maksimal untuk mengayuh sepeda. Fase ini adalah fase bersenang-senang buat kita. Bahkan sempet-sempetnya kita membuat foto “jatuh tertimpa sepeda” yang tentu saja direkayasa. Ide ini tercetus karena pada waktu aku jatuh di hari sebelumnya, tidak sempat diabadikan. Ada-ada saja.
Kita tiba di Singaraja tepat di siang hari. Perundingan kecil memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju Kintamani, more »
Membelah Bali [5]
Perjalanan mengayuh sepeda meninggalkan Bedugul adalah perjalanan yang sangat berat. Terutama karena kita bertiga mesti meninggalkan keceriaan bersama anak-anak KISS-1, meninggalkan wajah-wajah takjub dan kagum mereka, dan buat Adhi Tiana, meninggalkan senyum manis seorang HE. Ditambah lagi dengan hujan yang mulai turun, semakin lama semakin lebat, ditemani kabut penghalang pandang mata yang dingin. Untung saja Putu Barli rela meminjamkan jas hujannya untukku, sementara Adhi dan Ardita sudah siap dengan jas hujan masing-masing.
Pada suatu kesempatan, entah karena apa, tiba-tiba saja aku yang bersepeda paling belakang, menggencet rem belakang sekuat-kuatnya. more »
Bengkel Kangen Angin
Rencana semula, besok, Sabtu, tanggal 27 Desember 2008, akan diselenggarakan Bengkel Kangen Angin, di Aula Smansa, mulai pk 15.30 WITA s.d. puas. Tapi ternyata kita salah memilih waktu. Besok itu Tilem, Kajeng Kliwon juga. Tadi sore sempet ngobrol sama Pak Nyoman, [petugas jaga Smansa, yang tampangnya begitu-begitu saja, tidak berubah sejak dahulu] menurut dia, sangat riskan jika besok kita mengadakan acara keramaian di Smansa sampai malam. Dia menyarankan ganti hari. Tapi berhubung informasi sudah menyebar luas, terpaksa kita ambil resiko saja, more »
Membelah Bali [4]
Our first destination, Bedugul. Kita tiba di Bedugul lebih cepat dari perkiraan, sekitar jam setengah dua siang. Target kita sebelumnya, yah sekitar jam 6 sore lah. Ternyata hanya membutuhkan sekitar 6,5 jam mengayuh sepeda dengan santai -diselingi berjalan menuntun sepeda- untuk tiba di Bedugul dari Mengwi. Perut kita sudah sangat keroncongan. Maka sangat rasional kalau tempat pertama yang kita sasar adalah warung makan.
Setelah perut terisi, maka otak yang semula jalan-jalan ke dengkul akan kembali ke habitat aslinya. Saatnya memikirkan tempat untuk bermalam. Lho? Kok sudah mau bermalam? Kan masih sore mas? more »
Membelah Bali [3]
The show must go on. Maka kita terus mengayuh sepeda sampai sekitar jam delapan malam. Saat itu kita masih ada di wilayah Mengwi. Saatnya untuk mencari tempat beristirahat. Akhirnya kita berhenti di sebuah poskamling, sepakat untuk tidur di sana saja. Ada sedikit perdebatan tentang aman tidaknya tempat ini, tapi sudah tidak ada pilihan. Kalau kita dirampok, biar saja, pasrah.
Ketika akan memejamkan mata, tentunya setelah mengunci sepeda masing-masing, tiba-tiba ada seorang penduduk datang menghampiri.
“Kalian dari mana?”
“Oh, kami dari Denpasar Pak. Ini mau numpang menginap di sini. more »