The Absurd Generation
Sungguh mengherankan! Hampir 14 tahun keberadaan blog ini dalam suka cita, dengan 80-an tulisan telah dibagikan, dari beberapa contributor yang sebagian besar (atau semuanya?) mengalami fase hiatus, ternyata sama sekali belum ada tulisan tentang sejarah nama The Absurd Generation yang melekat pada Teater Angin. Akan sangat berdosa sekali rasanya, jika sampai para contributor tidak pernah menulis lagi, di sini, maka sejarah itu tidak akan tercatat, atau bahkan mungkin tidak akan tersampaikan. Iya sih, cerita tentang ini tentu saja telah diwariskan turun-temurun secara lisan. Tapi apa iya, lisan itu telah sesuai dengan kebenaran? Maka dari itu, baiklah, tulisan kali ini akan membahas tentang hal tersebut. more »
Doa Lingkaran
Perhatian: (update 18 Maret 2010)
Kepada kawan-kawan yang kebetulan mampir dan membaca postingan mengenai Doa Lingkaran ini, lalu ingin berpartisipasi dalam bentuk komentar, diharapkan untuk membaca dengan teliti seluruh tulisan ini secara utuh, termasuk membaca detail satu per satu komentar-komentar sebelumnya, untuk menghindari kesalah-pahaman maupun prasangka dan pelencengan dari fokus tulisan. Jika ada pertanyaan/pernyataan, bagian-bagian yang belum kawan-kawan pahami dengan benar, yang ingin diungkapkan secara pribadi, silahkan menghubungi penulis di tello108[at]gmail[dot]com
Kita ini milik Tuhan
Selamanya mengabdi hanya kepada Tuhan
Kita tak ingin yang berlebihan
Sebab yang berlebihan akan kita kembalikan kepada Tuhan
Kita percaya pada jalannya alam dan kehidupan
Demi Tuhan yang memberi kita kekuatan
Kita sanggup untuk melaksanakannya
Kurang lebih seperti itu. Dan, sepertinya rangkaian kata-kata di atas mirip banget sama yang ada di sini… 😉 more »
Kumbasari
Mencari nasi jinggo di Kota Denpasar, saat ini begitu mudah. Sore sampai malam, bahkan menjelang pagi, hampir di setiap ruas jalan kita bisa menemukan penjual nasi campur minimalis dibungkus daun pisang, yang dihargai Rp 1.500 – Rp 2.500 per bungkus. Tahun 90-an, nasi jinggo identik dengan Kumbasari. Sepertinya saat itu nasi jinggo hanya dijual di sana, atau setidaknya, di Kumbasari yang paling terkenal. Lokasinya di sebuah gang pinggir Jalan Gajah Mada, seberang pintu masuk ke Pasar Kumbasari.
Kumbasari adalah salah satu tempat nongkrong favorit anak-anak angin tahun 90-an. Orang-orang menyangka, more »
Lalungiiin…!
[Mohon diperhatian. Tulisan berikut ini mengandung sedikit unsur jorok. Bagi yang tidak bisa berdamai dengan keterjorokan, harap jangan melanjutkan membaca. Terima kasih atas keperhatiannya….]
Lalungin, jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi, “Telanjangiii…!” Entah sejak kapan tradisi ini mulai ada di kalangan anak angin. Yang jelas, semenjak pertama kali menginjakkan kaki di angin, aku sudah mendengar teriakan itu, “Lalungiiin…!” Dan sampai sekarang, setelah hampir dua belas tahun, kadang anak angin bertanya kepadaku ketika menyempatkan diri berkunjung, “Bli, jamannya Bli dulu udah ada lalung-lalungin belum?” Haha… tentu sudah. more »