Berkenalan dengan Angin [3]
Maaf, Kamis lalu aku menghilang tanpa kabar. Tidak seperti tuduhan Wahyu, yang katanya aku ngambek, aku hanya sedang plesiran di Lombok, dan tidak menemukan waktu untuk mengunjungi warnet. Jadi, mari kita lanjutkan.
Setamat SD, aku masuk SMP 1 Denpasar. Kata kakakku, di sana ada guru yang juga seniman, GM Sukawidana. Pak GM ini, katanya lagi, sudah membentuk group teater di SMP 1, namanya Batan Leci. Tapi, ketika daftar ekstra kurikuler di-realese, tidak aku temukan Drama dan Sastra di dalamnya. Akhirnya, aku hanya bisa masuk Pramuka, dan melepaskan sejenak cita-cita waktu nonton kakakku di TV. [Belakangan aku tahu, rupanya waktu aku masuk SMP 1, Pak GM lebih berkonsentrasi membina calon penulis, yang akhirnya menelorkan Ika Permata Hati dan Arie “Eva” Mayuni.]
Tapi aku tidak melupakan begitu saja niat untuk mencoba bergelut dengan drama. Kawan-kawan kakakku, anak-anak angin, yang kadang-kadang main ke rumah, membawa kegilaan mereka masing-masing. Sanding, Ucup, Dimas, Agus Merdeka, sampai Wahyu Dhyatmika. Termasuk Budi Besi, yang sudah aku kenal sejak kecil. Semua itu menambah kesan, bahwa dunia mereka sungguh menyenangkan.
Saking terkesannya dengan anak-anak angin, aku rela melawan rasa takut demi menyaksikan pementasan mereka. Ceritanya, ketika kakakku dan anak-anak angin pentas dalam ajang PSR, aku selalu hadir untuk menonton setiap harinya. Waktu itu, drama modern dan baca cerpen PSR diselenggarakan di Gedung Lila Bhuana, GOR Ngurah Rai, Jalan Melati. Jaraknya memang tidak jauh dari rumahku. Masalahnya adalah, pementasan biasanya baru selesai menjelang tengah malam, dan aku tidak punya kendaraan. Jadi, setiap hari, selama anak angin pentas, aku berjalan sendiri menyusuri gelapnya malam. Demi pementasan angin! Pergi ke Gedung Lila Bhuana mungkin tidak menjadi masalah. Nah, pulang tengah malam itulah masalah besarnya. Mungkin ada yang tahu gang sempit menuju rumahku? Gelap, dan di satu titik tumbuh sebuah pohon kepuh besar, yang menurut mitos merupakan tempat yang sungguh menyeramkan. Selama melewati wilayah itu, aku selalu mendengar lolongan anjing. Biasanya aku akan mempercepat langkah, seiring debar jantung yang semakin menderu. Rasa tenang baru terasa ketika sudah mencapai gerbang rumah. Tapi, aku tidak pernah kapok, dan selalu berusaha untuk datang ke Gedung Lila Bhuana. Demi pementasan anak-anak angin!
aduh aduh… bli wira ini lo…. jadi ga ada kata-kata lagi dah ni…
Wira ke Lombok?
Jadi inget kita bareng-bareng ke Lombok naik motor waktu SMA. Base camp di ulakan trus ke tempat tantenya Adi di Lombok kalo ngga salah. Pas Nyepi di Bali he he he…
Aku pertama kali kenal Angin pas anak-anak angin latihan untuk acara GRANAT-nya Unud. Karena kurang tukang kempluk jadilah Wahyu memaksa aku untuk membantu menjadi tukang kempluk. Trus pentas di GRANAT- gagal total he he he….di huuuuuuuin. Kayaknya kita salah habitat…..ha ha ha…BTW masuk angin salah satu hal terindah yang pernah kulalui.
Terima kasih kepada Wahyu yang memaksaku waktu itu.
Oh ya pementasan di GRANAT ini pernah di post nga’ ya? soale ingatanku sangat pendek saat ini…hal hal yang terjadi 13 tahun yang lalu banyak yang terlupa detilnya…..
kayaknya belum ada cerita soal GRANAT Bar. Aku juga lupa-lupa inget.
sorry baru muncul lagi. sibuk liputan pemilu presiden.
nyepi kok malah jalan2 haha
tapi tantenya Adhi baik pisan, makanan berlimpah!
sy mw tanya apa ada kegitan anak teater angin di bulan juli yg lalu;klo aa apa ada yg ikut jambore lpsn di NTB
Gak nemu Warnet ya, di Lombok? Padahal kata Eka, sempet nanya dimana ada Warnet…
Gang itu memang menyeramkan, gelap dan sempit…