Membelah Bali [5]
Perjalanan mengayuh sepeda meninggalkan Bedugul adalah perjalanan yang sangat berat. Terutama karena kita bertiga mesti meninggalkan keceriaan bersama anak-anak KISS-1, meninggalkan wajah-wajah takjub dan kagum mereka, dan buat Adhi Tiana, meninggalkan senyum manis seorang HE. Ditambah lagi dengan hujan yang mulai turun, semakin lama semakin lebat, ditemani kabut penghalang pandang mata yang dingin. Untung saja Putu Barli rela meminjamkan jas hujannya untukku, sementara Adhi dan Ardita sudah siap dengan jas hujan masing-masing.
Pada suatu kesempatan, entah karena apa, tiba-tiba saja aku yang bersepeda paling belakang, menggencet rem belakang sekuat-kuatnya. Tapi sial, mungkin karena hentakan yang tiba-tiba itu, tali rem belakangku putus. Sepeda masih melaju, aku panik, lalu naluri segera menggerakkan tangan untuk menggencet rem depan. Jalanan yang licin karena hujan sedang tidak bersahabat dengan sepedaku. Aku kehilangan keseimbangan, sepeda terpeleset, lalu bersama-sama, aku dan sepedaku, terjatuh. Mendengar suara gedubrak, Adhi dan Ardita menghentikan kayuhannya, menoleh ke belakang mereka, dan mendapati aku sedang berusaha bangkit dan membangkitkan sepedaku. Mereka menyongsongku sedikit panik.
“Kamu ga pa pa Wir?” Ardita bertanya, lalu tertawa kecil ketika aku hanya bisa cengengesan.
Adhi yang super religius lalu berkata dengan mimik yang super serius, “Mungkin kita sedang diperingatkan oleh Tuhan untuk sedikit lebih berhati-hati. Ayo kita berdoa….”
Spontan kita bertiga membentuk formasi doa angin, berlingkaran pada posisi berdiri dengan berpegangan tangan, kanan masing-masing menyilang di atas kiri, menundukkan kepala. Dan sejak saat itu, formasi ini selalu kita lakukan setiap melewati tugu, pohon, ataupun batu besar yang dililit kain poleng.
Dengan kondisi sepedaku yang hanya mengandalkan rem depan, perjalanan menjadi semakin berat. Apalagi medannya adalah jalan berliku, kadang menanjak, kadang menurun. Saat jalanan menurun, tentu saja aku mesti menuntun sepedaku. Tapi ketika jalanan menanjak, aku nekat sesekali mengayuh sepeda, walaupun Adhi dan Ardita selalu mengingatkan untuk tidak memaksakan.
Sekitar jam enam sore, kami tiba di Gitgit. Perundingan singkat di antara kita memutuskan untuk mencari tahu rumah Kepala Desa. Oleh seorang penduduk kami diantar ke tujuan. Di depan Pak Kades, kami menceritakan tentang perjalanan ini, sekaligus minta tolong untuk diperbolehkan menginap. Setelah melihat kartu pelajar kami, dengan senang hati Pak Kades menyiapkan rumahnya sebagai tempat beristirahat. Rupanya beliau kagum dengan semangat anak-anak muda seperti kita. Dari Denpasar mengayuh sepeda, dan sekarang sudah tiba di Gitigit!
Hari keempat perjalanan kita, dimulai dari Gitgit. Setelah berterima kasih dan berpamitan kepada Pak Kades, dengan tidak lupa minta petunjuk tentang bengkel sepeda untuk memperbaiki rem belakangku, pagi itu kami melanjutkan perjalanan. Untung saja bengkel yang direkomendasikan Pak Kades tidak begitu jauh, dan mau buka lebih awal ketika kami mengetuk pintu depannya. Akhirnya, semua beres.
Kami tidak ingin melewatkan Gitgit begitu saja. Maka kami memutuskan untuk singgah sebentar di salah satu air terjun yang ada di sana, untuk menikmati keindahan kuasa Tuhan. Ketika kami tiba, ternyata loket karcis masuk belum dibuka. Tapi anehnya, ada celah di salah satu pintu yang memungkinkan kita untuk masuk ke dalam. Jadilah kita menyelinap.
Oh, iya. Di cerita-cerita sebelumnya, aku lupa menceritakan bahwa kami juga berbekal kamera film –waktu itu belum jaman digital euy– punya Ardita. Dan ternyata filmnya sudah habis sejak di Bedugul. Maka Ardita celingak-celinguk di sekitar area wisata air terjun untuk mencari penjual film. Untungnya ada, dan uang Rp 8.000,- hasil sumbangan anak-anak KISS-1 akhirnya habis untuk membeli film. Sebenarnya kita merasa bersalah banget, karena pada awalnya sumbangan itu dialokasikan untuk logistik. Maafkan kami, para penyumbang.
Kami sungguh menikmati pagi di air terjun Gitgit. Adhi yang paling kegirangan, masih saja melanjutkan acara bermain air walaupun sesi foto-foto sudah berakhir. Sementara aku dan Ardita menunggu di sebuah bale bengong. Tiba-tiba saja, Adhi terlihat membungkukkan badan, sambil kedua tangannya menamplak-namplak di kedua kakinya. Awalnya aku dan Ardita mengira gilanya Adhi sedang kumat. Tapi melihat wajahnya yang penuh kepanikan, lalu kami menghampiri.
“Ada apa Dhi?”
“Ada lintah! Ada lintah! Aku digigit lintah!”
Bukannya prihatin, kami malah menertawakan kejadian itu. Akhirnya Adhi keluar dari air, dan syukurlah si lintah belum sempat menghisap darahnya Adhi. Setelah peristiwa lintah itu, kami lalu melanjutkan perjalanan. [to be continued]
Hahaha… selain heran, penunggunya pasti juga takjub, “Doa yang kereeen….”
doa ala angin….. sumpah aku paling ngeri dengan lintah waktu itu…
Haha… aku lupa, kamu sudah tergigit lintah apa ndak waktu itu. Tapi karena tidak terjadi apa-apa pada dirimu, dan kita bisa melanjutkan perjalanan, aku anggap belum sempat tergigit… hehe….
brapa pohon berkain poleng dan brapa batu besar kalian lewati setelahnya?
Hehe… ada-ada gen petakonne Dadap. Ngesap metek puk…. [Ada-ada saja pertanyaannya si Dadap. Lupa ngitung euy….]
Isi teriak angin ga?
Haha… kadang teriak, kadang lirih. Tergantung mood yang mimpin.
wah wah wah…kau mestinya udah bisa buat novel dengan segala kisahmu ini! siapa tau bisa nyaingin andrea hirata!
wah, semakin keren aja ceritanya + tambah seru… emangnya doa lingkaran itu berguna juga ya untuk melewati tugu dll yang berkain poleng ??? trus kalo sendirian kan gak bisa doa lingkaran, trus pake doa apa ??? siapa tahu nanti vi pingin naik sepeda keliling nusantara naik sepeda sendirian *_*
jangan ampe remuk belulangmu Vi…cukup naik sepede di rumah aja hehe
kali aja Jeng, dengan belulang vi yang berceceran banyak orang yang kasihan, trus orang-orang pada ngayuhin sepeda vi dan vi dibonceng. Kan tetep aja namanya naik sepeda. He..he..
mengharukan, pake doa lingkaran setiap kali melewati pohon atau tugu berkain poleng. Penunggunya pasti heran, “ini doa macam apa ini?” hehehe……