Sampun Ngopi?
Pada tulisan yang ini, saya mengatakan bahwa lomba baca puisi PSR pertama kali diselenggarakan saat saya kelas tiga. Setelah diingat-ingat kembali, sepertinya saya salah. Waktu itu saya masih kelas dua, sehingga belum ada Candra Idiot di Teater Angin, dan adegan latihan antara Ardita dan Candra Idiot tentu menjadi fiktif pada saat itu. Tapi biarlah tulisan itu tetap seperti itu, untuk menambah efek dramatis dengan bumbu-bumbu yang gurih.
Lomba baca puisi PSR waktu saya kelas tiga, akan saya ceritakan kali ini, dengan tokoh utama, sebut saja Budi. Waktu itu Budi masih kelas satu, seangkatan dengan Candra Idiot, sehingga wajib mengikuti lomba baca puisi more »
Baca Puisi Lagi
Judul ini tersimpan sebagai draft dengan data last modified bertanggal 11 Maret 2011. Isinya kosong. Kok bisa isi tapi kosong? Ingatlah selalu ajaran Biksu Tong Sam-chong, guru dari Kera Sakti. Kosong adalah berisi, berisi adalah kosong. Maka, tidak perlulah kita perdebatkan lagi mengenai isinya kosong ini. Lebih baik kita lanjutkan saja untuk mengisi kekosongan itu.
Jika dilihat judul dan tanggal last modified seperti tertera di atas, maka saya yakini, setelah mengingat-ingat sedemikian rupa, tulisan ini sedianya saya buat untuk mencatat pengalaman saya ketika diminta untuk membaca puisi pada acara perpisahan purna tugas dari rekan kerja di kantor saya. more »
Paria — Ika Permata Hati
dingin malam menggigit
sampai tulang rusukku
aku terpaku pada batas tanpa kata
di sini,
di batin ini,
aku terbuang dan tercampakkan
jadi pecundang
syair-syair berdarah sendiri
aku makin terpuruk more »
Sebagai Penari Aku — Ida Ayu Arie Mayuni
: tembang, tembangkan aku gending cintamu!
tembang, tembangkan aku kidung kurimu!
maka,
setiap lekuk tubuhku akan kau nikmati:
sebagai penari aku di matamu
menggelinjang buat malam-malam gairah
suguhkan arak sekedar menimang mimpi
agar terlena aku pada kelambu-kelambu nafsumu
sebagai penari aku meliuk-liukkan tubuh di depan matamu more »
ANGIN: Antologi Puisi Bersyarat
Tulisan ini saya persembahkan (dan abadikan) untuk Adhi Tiana. Kalau bukan karena Adhi, karena tekad, kegigihan, serta perjuangan dan pengorbanannya, maka tidak akan pernah ada antologi puisi bersama yang diterbitkan Teater Angin di tahun 1997. Antologi puisi yang berisi 21 puisi dari 21 anak angin di masa itu, namun sayang, tidak ada satu puisi pun dari Adhi! more »
Toya Bungkah (The Absurd Generation Part 2)
Mari kita ingat-ingat kembali pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya tentang periodisasi sastra. Jika saya katakan Poedjangga Baroe, mungkin akan ada yang langsung teringat dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pengarang novel Layar Terkembang. Bersama A.A. Pandji Tisna, sastrawan angkatan Poedjangga Baroe lainnya asal Buleleng, pengarang novel Sukreni Gadis Bali, STA mengunjungi Toya Bungkah untuk pertama kalinya pada tahun 1930-an. Lalu pada tahun 1970-an STA mendirikan Balai Seni Toya Bungkah.
Sekitar tahun 1992, anak-anak angin mengikuti lomba baca puisi di Balai Seni Toya Bungkah, yang disaksikan langsung oleh STA. more »
Maaf, Saya Tidak Tahu Perubahan Nomor Undi!
Sebagai pemanasan sebelum melanjutkan part 2 tulisan yang ini, mari kita coba bernostalgia dengan kisah lama bersemi kembali. Baiklah, mari kita mulai. Judul tulisan ini mengacu pada kalimat yang diucapkan oleh Imam Wahyudi, sesaat setelah dia tergopoh-gopoh naik panggung pada ajang lomba baca puisi Pekan Seni Remaja (PSR) Kota Denpasar, sebelum membacakan puisi pilihannya.
Waktu itu, mungkin sekitar akhir tahun 1996, untuk pertama kalinya ajang PSR melombakan baca puisi. Saya yang sudah kelas tiga, ditunjuk oleh Ketua OSIS sebagai ketua rombongan tim baca puisi Smansa Denpasar. Rombongan tentu saja terdiri dari semua anak angin more »
MAS = Malam Apresiasi Sssttt… [2]
Tulisan ini sedianya diposting pada bulan Februari 2010, sebagai lanjutan dari tulisan yang ini, sebuah review dari kegiatan Malam Apresiasi Sastra anak-anak angin di tahun 2010. Entah kenapa dulu saya tidak bisa menyelesaikan tulisan ini, lupa. Saya posting aja deh ya….
Nah, mari kita mulai dari bisikan penonton yang ada di sebelah saya. Katanya, pementasan lumayan bisa dinikmati, alur cerita mudah dipahami, dan dia sangat menikmati bagian gerak gestur pada teaterisasi puisi di tengah pementasan, yang ditarikan seorang pria dan dua wanita, more »
Keroyokan Cerpen
Ada yang masih ingat dengan beberapa baris dalam puisi saya, Insomnia? (1) Gadis penjual sesajen kepada Tuhan; (2) sengketa nenek penari tepi desa; dan (3) aturan dilanggar peraturan. Masing-masing kalimat tersebut merupakan tema cerpen dari tiga anak angin yang pernah mengirimkan karyanya dalam lomba cipta cerpen tingkat nasional pada tahun 1996, yaitu Rahayu Ujianti, Adhi Tiana, dan saya sendiri.
Saya lupa bagaimana awalnya. Tapi, sepertinya kisah ini dimulai ketika Bu Purwani memberikan selembar brosur tentang lomba cipta cerpen tingkat nasional. Lalu disosialisasikan kepada anak-anak angin, kemudian diam mengendap begitu saja. Ajaibnya, suatu hari, more »