Kwarto BMW: Anak-Anak Muda Penentu Nasib Bangsa
Kwarto BMW. Kwarto karena kami berempat, BMW diambil dari merk mobil. B untuk Barli, M adalah A dobel mewakili Adhi dan Ardita, sedangkan W untuk Wira. Kami berempat anak kelas unggulan di Smansa Denpasar yang mengikuti ekstra drama dan sastra, Teater Angin. Karena kelas unggulan, Smansa pula, jangan pertanyakan kepintaran kami. Tentu di atas rata-rata anak-anak Smansa yang lain. Sayangnya, karena faktor kesibukan berteater, kami berempat selalu bersaing mengisi ranking empat terbawah di kelas.
Pada waktu itu anak angin punya markas di bilangan Jalan Kenyeri, rumah dari seorang kakak kelas kami. more »
Melanjutkan Proses untuk Menjadi Ketua
Pada tulisan sebelumnya, saya menyampaikan ada beberapa keanehan dalam daftar ketua yang saya tampilkan. Untuk membahasnya, mari kita tampilkan kembali daftar ketua yang saya anggap aneh.
- ….
- 1990/1991: Rahayu \ 1989-1992
- 1991/1992: Dimas Hendratno \ 1991-1994
- 1992/1993: Agus Sedana \ 1991-1994
- 1993/1994: Eka Sucahya \ 1993-1996
- 1994/1995: Wira Santosa \ 1994-1997 more »
Proses untuk Menjadi Ketua
Untuk menjadi Ketua Teater Angin saat ini, para calon harus orasi terlebih dahulu. Keren! Setidaknya begitu kesimpulan saya ketika menerima undangan, seperti terlihat pada gambar di atas, dari anak angin beberapa hari yang lalu. Berbeda pada jaman saya dulu, ketua ditunjuk dan diresmikan secara tiba-tiba, berbarengan dengan acara pelantikan anggota. more »
ANGIN: Antologi Puisi Bersyarat
Tulisan ini saya persembahkan (dan abadikan) untuk Adhi Tiana. Kalau bukan karena Adhi, karena tekad, kegigihan, serta perjuangan dan pengorbanannya, maka tidak akan pernah ada antologi puisi bersama yang diterbitkan Teater Angin di tahun 1997. Antologi puisi yang berisi 21 puisi dari 21 anak angin di masa itu, namun sayang, tidak ada satu puisi pun dari Adhi! more »
Februari Aman, Tanggal 14 Siap Nyoblos?
Hebat! Saya heran, kok bisa saya seproduktif ini. Tulisan sudah siap tayang untuk lima Kamis ke depan. Jika saya masih tetap produktif sampai beberapa bulan kemudian, bisa menyelesaikan cerita yang tercantum pada Next Random Story, maka nafas blog ini masih bisa bertahan setidaknya sampai Desember 2024. Setelah itu bagaimana? Habis! Saya sudah kehabisan bahan tulisan. Tidak ada lagi kilasan-kilasan memori yang bisa saya nostalgiakan di sini. more »
Toya Bungkah (The Absurd Generation Part 2)
Mari kita ingat-ingat kembali pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya tentang periodisasi sastra. Jika saya katakan Poedjangga Baroe, mungkin akan ada yang langsung teringat dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pengarang novel Layar Terkembang. Bersama A.A. Pandji Tisna, sastrawan angkatan Poedjangga Baroe lainnya asal Buleleng, pengarang novel Sukreni Gadis Bali, STA mengunjungi Toya Bungkah untuk pertama kalinya pada tahun 1930-an. Lalu pada tahun 1970-an STA mendirikan Balai Seni Toya Bungkah.
Sekitar tahun 1992, anak-anak angin mengikuti lomba baca puisi di Balai Seni Toya Bungkah, yang disaksikan langsung oleh STA. more »
Akhirnya, Sejarah Itu akan Terungkap!
Sekitar 17 bulan yang lalu, saya berniat untuk menuliskan sejarah awal bermula The Absurd Generation melekat pada Teater Angin. Namun otak saya nge-blank untuk merangkai jalinan cerita yang pernah saya dengar. Ya, karena saya tidak mengalami langsung bagaimana terjadinya peristiwa bersejarah di Toya Bungkah itu.
Akhirnya, beberapa hari yang lalu inspirasi meluncur begitu saja, dan selesailah tulisan yang dinanti-nanti. Namun tetap ada keraguan, apakah yang saya tuliskan sudah sesuai dengan kenyataan, more »
Tenang Pak, Kita Pasti Main!
Ini adalah sisi lain dari tulisan yang ini, ketika anak angin memainkan naskah Orang Asing dalam salah satu ajang LDM PSR Kota Denpasar. Telah menjadi kebiasaan anak angin pada saat itu, persiapan yang telah dilakukan melalui latihan beberapa hari menjelang pementasan, akan musnah begitu saja pada H-1 pementasan. Pelatih yang diminta untuk memoles atau menghaluskan di akhir, akan merombak total segala set yang telah disiapkan.
Pun halnya saat itu, ketika Putu Satria sebagai pelatih, baru datang H-1 sore menjelang malam. Set berubah total. Para pemain harus melakukan penyesuaian dengan set panggung yang baru. more »
Maaf, Saya Tidak Tahu Perubahan Nomor Undi!
Sebagai pemanasan sebelum melanjutkan part 2 tulisan yang ini, mari kita coba bernostalgia dengan kisah lama bersemi kembali. Baiklah, mari kita mulai. Judul tulisan ini mengacu pada kalimat yang diucapkan oleh Imam Wahyudi, sesaat setelah dia tergopoh-gopoh naik panggung pada ajang lomba baca puisi Pekan Seni Remaja (PSR) Kota Denpasar, sebelum membacakan puisi pilihannya.
Waktu itu, mungkin sekitar akhir tahun 1996, untuk pertama kalinya ajang PSR melombakan baca puisi. Saya yang sudah kelas tiga, ditunjuk oleh Ketua OSIS sebagai ketua rombongan tim baca puisi Smansa Denpasar. Rombongan tentu saja terdiri dari semua anak angin more »
The Absurd Generation
Sungguh mengherankan! Hampir 14 tahun keberadaan blog ini dalam suka cita, dengan 80-an tulisan telah dibagikan, dari beberapa contributor yang sebagian besar (atau semuanya?) mengalami fase hiatus, ternyata sama sekali belum ada tulisan tentang sejarah nama The Absurd Generation yang melekat pada Teater Angin. Akan sangat berdosa sekali rasanya, jika sampai para contributor tidak pernah menulis lagi, di sini, maka sejarah itu tidak akan tercatat, atau bahkan mungkin tidak akan tersampaikan. Iya sih, cerita tentang ini tentu saja telah diwariskan turun-temurun secara lisan. Tapi apa iya, lisan itu telah sesuai dengan kebenaran? Maka dari itu, baiklah, tulisan kali ini akan membahas tentang hal tersebut. more »