Membelah Bali [6]
Meninggalkan Gitgit relatif lebih mudah. Pertama, karena rem sepedaku sudah mantap. Kedua, karena cuaca tidak lagi hujan. Ketiga, tentu saja karena jalanan yang menurun, walaupun masih berkelok, jadi tidak diperlukan power maksimal untuk mengayuh sepeda. Fase ini adalah fase bersenang-senang buat kita. Bahkan sempet-sempetnya kita membuat foto “jatuh tertimpa sepeda” yang tentu saja direkayasa. Ide ini tercetus karena pada waktu aku jatuh di hari sebelumnya, tidak sempat diabadikan. Ada-ada saja.
Kita tiba di Singaraja tepat di siang hari. Perundingan kecil memutuskan untuk meneruskan perjalanan menuju Kintamani, more »
Membelah Bali [5]
Perjalanan mengayuh sepeda meninggalkan Bedugul adalah perjalanan yang sangat berat. Terutama karena kita bertiga mesti meninggalkan keceriaan bersama anak-anak KISS-1, meninggalkan wajah-wajah takjub dan kagum mereka, dan buat Adhi Tiana, meninggalkan senyum manis seorang HE. Ditambah lagi dengan hujan yang mulai turun, semakin lama semakin lebat, ditemani kabut penghalang pandang mata yang dingin. Untung saja Putu Barli rela meminjamkan jas hujannya untukku, sementara Adhi dan Ardita sudah siap dengan jas hujan masing-masing.
Pada suatu kesempatan, entah karena apa, tiba-tiba saja aku yang bersepeda paling belakang, menggencet rem belakang sekuat-kuatnya. more »
Bengkel Kangen Angin
Rencana semula, besok, Sabtu, tanggal 27 Desember 2008, akan diselenggarakan Bengkel Kangen Angin, di Aula Smansa, mulai pk 15.30 WITA s.d. puas. Tapi ternyata kita salah memilih waktu. Besok itu Tilem, Kajeng Kliwon juga. Tadi sore sempet ngobrol sama Pak Nyoman, [petugas jaga Smansa, yang tampangnya begitu-begitu saja, tidak berubah sejak dahulu] menurut dia, sangat riskan jika besok kita mengadakan acara keramaian di Smansa sampai malam. Dia menyarankan ganti hari. Tapi berhubung informasi sudah menyebar luas, terpaksa kita ambil resiko saja, more »
Membelah Bali [4]
Our first destination, Bedugul. Kita tiba di Bedugul lebih cepat dari perkiraan, sekitar jam setengah dua siang. Target kita sebelumnya, yah sekitar jam 6 sore lah. Ternyata hanya membutuhkan sekitar 6,5 jam mengayuh sepeda dengan santai -diselingi berjalan menuntun sepeda- untuk tiba di Bedugul dari Mengwi. Perut kita sudah sangat keroncongan. Maka sangat rasional kalau tempat pertama yang kita sasar adalah warung makan.
Setelah perut terisi, maka otak yang semula jalan-jalan ke dengkul akan kembali ke habitat aslinya. Saatnya memikirkan tempat untuk bermalam. Lho? Kok sudah mau bermalam? Kan masih sore mas? more »
Membelah Bali [3]
The show must go on. Maka kita terus mengayuh sepeda sampai sekitar jam delapan malam. Saat itu kita masih ada di wilayah Mengwi. Saatnya untuk mencari tempat beristirahat. Akhirnya kita berhenti di sebuah poskamling, sepakat untuk tidur di sana saja. Ada sedikit perdebatan tentang aman tidaknya tempat ini, tapi sudah tidak ada pilihan. Kalau kita dirampok, biar saja, pasrah.
Ketika akan memejamkan mata, tentunya setelah mengunci sepeda masing-masing, tiba-tiba ada seorang penduduk datang menghampiri.
“Kalian dari mana?”
“Oh, kami dari Denpasar Pak. Ini mau numpang menginap di sini. more »
Membelah Bali [2]
Oh, iya. Ide bersepeda keliling Bali ini memang benar-benar tidak bertanggung jawab. Kita bahkan belum menetapkan rute yang akan dilalui. Kita baru rapat menentukan rute, sore itu, di sekolah, setelah ngumpul bertiga, beberapa detik sebelum berangkat! Nah, lho….
Diambil keputusan, kita pergi ke arah utara. Pokoknya nyampe di Bedugul dulu lah. Ada sesuatu yang menunggu kita di sana, tapi aku ceritakan nanti saja. Setelah itu ke mana, biarlah kayuhan kaki di atas pedal yang menentukan. Lalu masalah belum berhenti pada persoalan penentuan rute. Masalah utama, di mana kita akan menginap? Ah, nekat sajalah. Kita toh masih di Bali. more »
Membelah Bali [1]
Tau ndak? Dulunya aku hampir saja masuk Trixxx. Kalau itu kejadian, tentu saja blog ini ndak akan pernah ada ya. Dulu aku agak-agak minder, soalnya ndak bisa naik motor, ndak punya sepeda motor, apalagi mobil. Kendaraanku saat itu hanyalah sebuah sepeda balap yang setangnya melengkung. Trixxx lah yang lebih memberikan ruang buatku untuk sepeda ini, dengan semboyan plesetan, “Datang dan Pergi dengan Sebuah Sepeda!” Smansa kan terkenal dengan car and money nya. Salamnya aja Karmany kok! Untung saja ada beberapa provokator. Yang pertama adalah Pak Astawa, guru Biologi SMP 1, bapak dari sahabatku, Adhi Tiana. Katanya, “Ngapain ke Trixxx? Smansa jauh lebih baik!” more »
Dewan Juri, Mohon Maaf, Tolong Pindah ke Belakang….
Wahyu Dhyatmika tidak mau puas dengan naskah yang ada di hadapannya. Sutradara punya kuasa penuh di atas panggung, bukan penulis naskah. Demikian kira-kira prinsipnya. Maka naskah RSU dirombak total. Tokoh serta dialog Si A, Si B, Si C, dll direstrukturisasi. Selanjutnya ditambahkan beberapa tokoh baru sebagai pemanis. Ada Dukun. Ada perawat RSJ yang menjemput sang Dukun, yang ternyata adalah pasian sakit jiwa. Ada pasangan pemuda-pemudi yang hamil di luar nikah. Dan yang lain-lain, yang semuanya tidak dimunculkan oleh penulis naskah. Naskah RSU ala Wahyu bukanlah naskah RSU ala kadarnya.
Di hari pementasan, kesibukan luar biasa buat anak angin. more »
Hatiku untuk RSU
Mari kita kembali ke cerita seputar PSR. Dalam tulisan [membanting lidah] sudah dijelaskan bahwa anak angin mengirim 3 grup drama pada PSR tahun 1996. Salah satunya adalah RSU, yang disutradarai Wahyu Dhyatmika.
Melihat sekilas naskah RSU, aku sudah tertarik. Amat sangat bisa dimainkan. Dan karena sutradaranya Wahyu, aku semakin tertarik. Pengalaman yang begitu mengesankan dalam Sorga Neraka di bawah arahan Wahyu menjadi alasan utamanya. Ingin rasanya mengulang kembali kejayaan Sorga Neraka ke dalam RSU. Lalu aku berharap dipilih sebagai salah satu pemeran oleh Wahyu pada saat casting nantinya. more »
Foto Angin 1997
Di depan Lab Fisika. Ups, benderanya kebalik…. Ini foto beberapa anak angin yang lulus SMA tahun 1997. Foto diambil -kalau tidak salah- pada saat penyerahan ijazah SMA, yaitu hari terakhir kita masuk sekolah secara resmi.
Barisan depan dari kiri ke kanan: Adhi Tiana, Barli (pakai topi), Ika Permata Hati, Nova Kristina, Wira Santosa. Barisan belakang dari kanan ke kiri: Arie Mayuni (Eva), Ken Widiastuti, Philips Andrew, Manik Suyasmini, Ardita.
Is missing: Kardena, Darmawati, Apriliani, siapa lagi ya?