Adhi Runner Up
Jika sampai saat ini belum ada renovasi, maka tepat di titik tengah lapangan tenis yang kadang dipakai tempat latihan anak angin akan terdapat bercak-bercak hitam bekas terbakar. Itu adalah ulah dari beberapa oknum anak angin, yang iseng memanfaatkan bangku-bangku bekas tak terpakai untuk sekedar digunakan api unggun penghangat badan. (Atau sebagai sarana pemanggang ayam, saya agak lupa….)
Beberapa hari setelah kejadian bakar-bakaran tersebut, ada pesan dari kantoran ke kelas saya meminta agar Adhi Tiana menghadap Pak Mustika, kepala sekolah, segera. Ini masalah! Reflek otak saya menghubungkan kejadian pembakaran dengan pemanggilan Adhi itu. Pasti anak angin diminta untuk bertanggung jawab, begitu benak saya berkata. Seketika saya menyesali aksi bakar-bakaran itu. Semula kami mengira bahwa aksi itu tidak akan meninggalkan jejak, atau setidaknya jejak bisa kita hilangkan dengan mudah. Ternyata susah sekali membersihkan kerak-kerak sisa pembakaran di lantai. Ah, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Apapun yang terjadi selanjutnya, harus kita hadapi.
Tak disangka tak diduga, beberapa saat kemudian Adhi kembali dari ruang kepala sekolah sambil berteriak-teriak kegirangan. Gila! Begitu beratkah sanksi yang dijatuhkan untuk kasus pembakaran itu? Sehingga Adhi sampai sebegitu stressnya dengan berteriak kegirangan tanpa kontrol, layaknya orang gila. Saya tak habis pikir.
“Yes! Runner up! Aku juara dua…” begitu teriakan Adhi yang terus diulang-ulang kegirangan, tapi saya melihatnya seperti orang gila.
Karena saya belum bisa mencerna maksud teriakan-teriakan Adhi dihubungkan dengan kasus pembakaran, maka saya menganggap bahwa dia sudah gila level ketujuh. Naik satu setengah tingkat dari level gila sebelumnya.
“Besok aku berangkat ke Jakarta…” kata Adhi sesampainya di meja saya.
Saya masih mengerutkan kening, tidak mengerti maksudnya. Saya putuskan seketika itu juga menaikkan level gilanya menjadi tujuh seperempat.
“Cerpenku juara dua tingkat nasional…” kata Adhi melanjutkan dengan ekspresi penuh kegembiraan.
Sedikit demi sedikit saya mulai mencerna bahwa pemanggilan Adhi ke ruang kepala sekolah tidak ada hubungannya sama sekali dengan kasus pembakaran. Ternyata semua ini adalah hasil dari keroyokan cerpen yang kita lakukan beberapa bulan sebelumnya. Salah satu cerpen yang kami kirim, yaitu cerpen tentang sengketa nenek penari tepi desa hasil karya Adhi Tiana, berhasil meraih juara dua tingkat nasional. Begitu memahami apa yang terjadi, saya ikut larut dalam kegembiraan, juga bersama Ardita dan Barli, anak-anak angin di kelas saya.
Ternyata, tidak sia-sia kami dispen di hari itu, di hari ketika kami malas untuk belajar di kelas. Tidak sia-sia keroyokan cerpen dari anak-anak angin. Tidak sia-sia intimidasi dari Rahayu dengan cerpennya yang sudah selesai dalam amplop coklat besar. Tidak sia-sia juga intimidasi dari seorang kawan yang tidak sabar untuk segera ke Kumbasari. Dan tentunya, tidak sia-sia Adhi merayu petugas pos malam-malam di saat layanan umum sudah ditutup, untuk membubuhkan cap pos pada amplop berisi cerpen kami. Hasilnya, Adhi juara dua lomba cipta cerpen tingkat nasional. Congratulation!
Ada versi lain dari cerita ini, yang saya tidak yakin versi mana yang benar. Pemanggilan Adhi ke ruang kepala sekolah terjadi setelah kejadian pembakaran lapangan tenis, atau setelah Adhi kepergok merokok, saya agak sedikit ragu. Mungkin Kamis depan saya ceritakan versi merokok ini. Saksi sejarah lain mungkin masih ingat, versi mana yang valid?