Nge-borju Sejenak di Malioboro
Pada suatu Minggu pagi, beberapa anak angin berwisata ke Pantai Sanur, kalau tidak salah tepatnya di Pantai Karang, tanpa Adhi Tiana. Ya, pagi itu adalah jadwal keberangkatan Adhi ke Jakarta untuk menerima hadiah sebagai runner-up lomba cipta cerpen tingkat nasional. Kami tidak tahu jam berapa penerbangan Adhi ke Jakarta, tapi setiap ada pesawat melintas di langit, kami akan melambaikan tangan sekaligus berteriak kegirangan, “Adhiii… Adhiii…,” sembari membayangkan Adhi yang kumal dilayani oleh pramugari cantik nan putih mulus.
Singkat cerita, Adhi kembali dari Jakarta dengan membawa banyak oleh-oleh, diantaranya beberapa naskah drama dan buku-buku, salah satunya kumpulan puisi Tukang Kebun dari Rabindranath Tagore. Entah, semuanya merupakan hadiah lomba atau hasil pembelian, saya lupa. Yang jelas hadiah uangnya lumayan besar, sehingga diputuskan untuk merayakan kemenangan Adhi dengan mentraktir seluruh anak angin. Tempat traktirannya pun naik tingkat. Jika biasanya kami nongkrong di Pasar Kumbasari, kali ini kami putuskan untuk berpindah ke Genteng Biru, Diponegoro. Jika boleh dianalogikan, Kumbasari merupakan tempat nongkrong kaum proletar dengan suasana pasar tradisionalnya. Sedangkan Genteng Biru, dulu, di mata kami, adalah tempat elit untuk nongkrong bagi kaum borjuis. Menu utamanya, pecel lele, adalah menu kelas tinggi, spesial, karena tidak banyak tempat-tempat kuliner saat itu yang menyajikan pecel lele di Denpasar.
Genteng Biru, dulu kami menyebutnya Malioboro, merupakan sentra kuliner lesehan (mungkin) satu-satunya di Denpasar saat itu, yang mengingatkan Sucahya dengan suasana Malioboro asli di Yogyakarta. Pertimbangan lain memilih Malioboro sebagai tempat traktiran adalah supaya bisa mengakomodir semakin banyak peserta, khususnya cewek-cewek, karena Kumbasari baru beraktifitas pada jam malam.
Maka tibalah saat yang sudah ditentukan. Sore hari setelah latihan, kami konvoi ke Malioboro. Sekali-sekali menikmati sensasi sebagai kaum borjuis, makan malam di tempat elit. Mungkin hari itu adalah momen dimana anak angin nongkrong di tempat makan dengan jumlah orang terbanyak, sekitar 20-an ada sepertinya. Tapi Adhi terlihat tidak menikmati suasana pada saat itu. Entahlah. Apa karena dia vegetarian? Atau karena jiwa proletarnya tidak bisa untuk diajak borju sejenak? Atau karena dia harus mengeluarkan uang yang banyak? Kami hanya bisa menebak dalam hati, tidak ada yang tahu persis penyebab pastinya. Tapi yang jelas, kalau tidak salah ingat, uang yang harus dikeluarkan oleh Adhi adalah sekitar 120 ribu. Jumlah yang sangat besar di tahun 1996/1997. Jika dikonversi pada kondisi saat ini, mungkin sekitar 2 jutaan. Dasarnya tentu saja harga nasi goreng Ratna, yang saat itu hanya senilai 600 rupiah, dibandingkan harga sekarang yang sudah mencapai 10 ribu. Seratus dua puluh ribu rupiah, rekor yang belum terpecahkan.
Oooh… itu artinya sukla ya? Kirain apaan… Puyung hai + nasi putih + air es = 18k. Pidan ji kuda ah?
kok bisa mengingatkan Sucahya dengan Malioboro, apakah dia penyanyi Kla? Sukla (sucahya-kla)?
Kalau Puyung HHHAIIII ratna brapa skr? dengan tambahan nasi dan air es?