Dari “Tukang Kebun” – Rabindranath Tagore
Matamu yang mengandung tanya itu duka. Ia mencari-cari hendak mengetahui isi hatiku bagai bulan hendak menduga laut.
Telah kusingkapkan hidupku seluruhnya di muka matamu, tak ada lagi yang tersembunyi atau tertahan. Itulah sebabnya mengapa tak kau tahu aku.
Jika hidupku hanya sebuah permata, akan dapat kupecahkan jadi seratus keping dan kurangkai jadi seutas rantai untuk kukalungkan di lehermu.
Jika ia hanya sekuntum bunga, bundar dan kecil dan indah, akan dapat kupetik dari batangnya untuk kusematkan di rambutmu.
Tapi ia adalah hati, kekasihku. Di manakah pantai dan dasarnya?
Kau tak tahu batas-batas kerajaan ini, selama kau jadi ratunya.
Jika ia hanya sejenak kesenangan, ia akan mengembang jadi senyuman ringan, dan akan dapat kau lihat dan kau baca dalam sekejap.
Jika ia semata-mata hanya kepedihan, ia akan mencerna menjadi air mata bening mengaca, membiaskan rahasianya yang terdalam tanpa kata.
Tapi ia adalah cinta, kekasihku.
Kesenangan dan kepedihannya tak terbatas, dan tak ada akhirnya kepapaan dan kemewahannya.
Ia dekat padamu seperti hidupmu sendiri, tetapi kau tak pernah dapat mengetahuinya benar-benar.
Puisi di atas diambil dari buku Tukang Kebun-nya Rabindranath Tagore. Lumayan ngetop di kalangan anak angin tahun 90-an, kalau tidak salah diperkenalkan oleh Jengki. Bahkan Adhi Tiana dengan sangat bersemangat membeli buku ini sebagai oleh-oleh buat anak angin, ketika dia ke Jakarta dalam rangka penerimaan hadiah juara II Lomba Penulisan Cerpen Tingkat Nasional. Seingatku, dua orang yang paling nge-fans sama puisi ini adalah Sukada dan Imam Wahyudi.
Haha… memang racun yang sangat memikat. Abang ya yang bawain bukunya? Aku pikir Jengki. Tapi Adhi emang bener beli buku itu di Jakarta, trus dipinjem ama entah siapa, sekarang ndak ketahuan deh keberadaannya.
OOT, tapi satu lagi yg berhasil aku racuni ke temen itu adalah Kuda Putih hahaha
Wah, aku juga pingin memposting Kuda Putih suatu saat, tapi ndak tau teks benernya. Kalau kamu punya, tolong dikirim via email ya… thanks.
Kuda putih yang meringkik dalam sajak-sajakku
Merasuki basa bisi jantung penuh rahasia
Diam diam kupacu terus ini binatang cinta
Diam diam kupacu terus ini binatang cinta
Dengan cambuk tali anganan, dari padang-padangku
Dengan cambuk tali anganan, dari padang-padangku
Phala phaalaa
Phalaa kuliah di Surabayaaa
Phala phalaaa
Phalaa kuliah di Surabaayaaaa
Ini versi lagu Wir
Hahaha
Salah! Phala kuliah di Bogor!
Benar Wir, ini favoritku 🙂
Btw, seingatku Iswahyudi juga membacakan puisi ini depan M*****
Hahaha
Iswahyudi? Melani?
Mamydi
Atau Memedi?
Madewi bukan?
Wah, ternyata Barli punya saingan!!! 😉
Halo, apakabar? Salam ringkik kda putih, Tan Lioe Ie
Wah? Ini beneran Mas Yoki? Atau seseorang yang mencoba menyamar sebagai Mas Yoki? Selamat datang, Mas Yoki. Sangat tersanjung sekali, sudah berkunjung. Terima kasih.
Beneran saya, pas Phala lagi ada di rumah saya, jadi berkunjunglah saya. Terimakasih juga.
Ooo… begitu ceritanya… 🙂
Halo Mas Lioe Ie! Senang ketemu lagi di sini. Apa kabar?
Semoga kabarnya selalu baik-baik saja… 😉
wah. si yoki muncul lagi… ingat waktu masih sanggar minum kopi dulu di akhir2x keberadaannya di rumahnya yoki… salam mas… wah puisinya emang jadi cara ngungkapin hati waktu sma 4x….
Hmm… Sanggar Minum Kopi, Jalan Wahidin, anak-anak angin ndak jadi mentas sama Putu Satrya di PKB 1995. Sebuah memori yang masih melekat, mungkin nanti akan aku tulis.
Saya juga suka Tagore, pemenang Nobel yang pernah berkunjung ke Bali,,,
Wah, kok beliau ndak berkunjung ke rumah saya ya? 😉
hahaha, saya belum sempat nanya Bli, malah belum lahir kayanya pas itu, hehehe
Oya ada acara pergelaran seni nanti sore di togamas, jam 6 sore, yang main anak ANgin, dataeng Yo!
Siap, hadir, sambil liat-liat buku… 😉
ya aku yang kenalin ke kalian, angin memeri…mimikri…memedi…
aku punya kenangan dengan sajak top itu…tentu dengan anak angin yang sering masuk angin hahaha
wira wira masih saja kau melankolis…
hidup ini sadis, kawan!
masukkan lah masa lalu itu ke sumur paling dalam kalbumu…
buka matamu untuk masa depan yang mungkin lebih suram hahaha
terkadang ketika kita lelah dengan hidup yang senyatanya, membuka kembali lembar-lembar kenangan jadi terasa menyejukkan. Apalagi sampai bisa ketawa ngakak, bisa lupa ama masalah+gak perlu ke psikiater apalagi untuk hipnotis segala. Kayaknya begitu deh Wira akan menjawab. He..he..he..
dulu sempat berhasil “meracuni” temen kampus di sini dg puisi ini. sampe2 dalam suatu periode itu setiap melihat/ngobrol sesuatu, pasti dikaitkan dg salah satu baris dari puisi ini, entah karena emang nyambung, atau karena maksain biar nyambung, atau hanya untuk sekedar meledek diri sendiri karena terlalu engrossed dg puisi nya.
btw, kalo ngga salah, si Abang yg membawa buku it ke sekolah, entahlah, lupa.
yg jelas, versi bhs inggris nya ngga seseru versi bhs indonesia. mungkin karena taunya versi bhs indo dulu, jadi versi bhs lain kesannya “menjiplak”.