Sorga Neraka [1]
Mari kita tinggalkan sejenak cerita-cerita seputar PSR. Anak Angin punya gawe tahunan yang namanya MAS, Malam Apresiasi Sastra. Ajang ini biasanya digunakan sebagai momen unjuk gigi bagi anak-anak baru. Juga momen untuk persiapan ajang-ajang yang lebih besar seperti PSR, Pekan Seni Remaja. Istilah MAS pertama kali muncul kalau tidak salah sekitar akhir tahun 1995. Tahun-tahun sebelumnya, ada ajang sejenis yang menjadi cikal bakal MAS, yaitu Malam Chairil Anwar.
Malam Chairil Anwar, acara yang dipersembahkan oleh anak angin untuk mengenang Chairil Anwar, penyair angkatan 45 yang meninggal tanggal 28 April 1949, di usianya yang belum genap 27 tahun. Akhir April 1995, anak angin menggelar Malam Chairil Anwar untuk terakhir kalinya. Tahun-tahun berikutnya, Malam Chairil Anwar sudah berganti nama menjadi Malam Apresiasi Sastra. Agenda utama dari Malam Chairil Anwar yang terakhir ini adalah sebuah pementasan drama dengan lakon Sorga Neraka. Agenda lainnya, spontanitas pembacaan puisi dan lain-lain dari para seniman dan undangan.
Sorga Neraka, sebuah drama komedi karya dari salah satu alumni angin tahun 1993, Eka Santosa. Temanya adalah pengadilan setelah kematian. Bercerita tentang sepasang kakek nenek yang baru saja meninggal, kemudian diadili di akhirat untuk penentuan sorga neraka. Saya sendiri berperan sebagai Kakek, berpasangan dengan Darmawati.
Semua pemain pendukung terdiri dari anak-anak kelas satu, sedangkan sutradara dipegang oleh Wahyu Dhyatmika, yang saat itu sudah kelas dua. Dari sekian banyak pementasan yang telah saya lakoni bersama angin, memang Sorga Neraka inilah yang paling berkesan buat saya. Paling puas rasanya bermain di sini. Naskahnya lumayan fleksibel untuk dimainkan, bisa diselipkan berbagai macam improvisasi. Wahyu juga sangat pandai dalam mengeksplorasi naskah, sangat lihai juga dalam mengarahkan pemain untuk mengeksplorasi karakter masing-masing lebih jauh.
Dari segi tekhnik teater, mungkin penampilan Sorga Neraka ini masih jauh di bawah standar. Tapi kepuasan tampil itu saya peroleh dari tawa penonton yang hampir tidak berhenti sepanjang pementasan. Saya menganggap bahwa komedi yang kami tampilkan bisa diterima oleh penonton. Adrenalin semakin terpompa setiap terdengar tawa penonton. Puas sekali rasanya, karena sepertinya telah menghibur semua yang hadir. [to be continued]
Liat apaan Wie? Ah, jangan terlalu penasaran dan terlalu percaya dengan deskripsi cerita saya. Kenyataannya ga seheboh apa yang saya tulis kok. Hanya segelintir penonton yang ketawa, itupun hanya sekedar membesarkan hati yang mentas. Hihihi….
ben pidan MAS nah?
Kabarne sih Januari Doel… tapi sing tawang tanggal pastine….
wah……. “lihai mengolah naskah, mengekplorasi pemain”…… jeg ebat san kesannya. hehehe….. seperti kata Predi, “Masak?”
Ehm… ehm… ada yang ke-GR-an nih… tapi memang begitu kok….
kalo seperti si beni jerawat…
tanya cang..!tanya….cang…!
Huahaha… hush! Dokter Beni… kemana gerangan anak ini ya? Tanya cang… tanya cang! Hueheheh….
ingat aku jadi hakim disana orahina bercelana pendek, beh mare pesu jeg juniartha dan pala kalo tidak salah ngakaknya kagak ketulungan … thanks ya yu, wir. ini emang paling puas waktu maen…..hi..hii
Bahkan aku sebagai pemain pun tidak tahu Adhi bakal memakai celana pendek. Memang bagian yang menjadi surprise yang paling surprise. Pak Hakim yang tegas, dengan pakaian keren ala hakim tertutup mimbar, begitu keluar… ternyata hanya bercelana pendek. Hancur aula oleh tawa penonton. Wibawa Pak Hakim pun runtuh… cool….
pengen liaaaaaaattt…. 🙂