MAS = Malam Apresiasi Sssttt… [2]
Tulisan ini sedianya diposting pada bulan Februari 2010, sebagai lanjutan dari tulisan yang ini, sebuah review dari kegiatan Malam Apresiasi Sastra anak-anak angin di tahun 2010. Entah kenapa dulu saya tidak bisa menyelesaikan tulisan ini, lupa. Saya posting aja deh ya….
Nah, mari kita mulai dari bisikan penonton yang ada di sebelah saya. Katanya, pementasan lumayan bisa dinikmati, alur cerita mudah dipahami, dan dia sangat menikmati bagian gerak gestur pada teaterisasi puisi di tengah pementasan, yang ditarikan seorang pria dan dua wanita, walaupun dia tidak begitu mengerti makna bagian itu untuk keseluruhan pementasan. Sebagai catatan, katanya, panggung terlalu lebar, sehingga dia agak susah menonton adegan per adegan yang berpindah-pindah dari sisi panggung satu ke sisi panggung lainnya.
Yap, saya sangat setuju bahwa panggung yang dibuat oleh anak angin sangat tidak ramah untuk penonton. Di mata saya, anak-anak angin kembali mengulang kesalahan penataan panggung tahun sebelumnya. Saya agak kecewa dengan hal ini, karena seingat saya sudah diingatkan saat itu sebagai evaluasi, bahwa panggung MAS 2009 terlalu lebar dan tidak cukup tinggi. Herannya, yang diperbaiki untuk MAS 2010 hanya masalah ketinggian. Panggung memang dibuat cukup tinggi, tapi tetap, masih lebar. Seolah-olah mengabaikan evaluasi yang telah diberikan, karena tidak diaplikasikan dengan baik.
Bagi yang tidak menonton, bisa saya deskripsikan penataan panggung ini. Aula Smansa Denpasar berbentuk persegi panjang, dengan sisi memanjang utara selatan. Panggung asli aula terletak di sebelah utara. Nah, anak angin membuat panggung tambahan di sebelah timur, memanjang utara selatan, dipecah tiga bagian, bagian utara cukup tinggi, bagian tengah lebih ditinggikan, dan bagian selatan setinggi bagian utara. Panggung asli tetap dipergunakan, hanya sebagai panggung musikalisasi puisi, sedangkan panggung tambahan di sebelah timur ini dipergunakan untuk drama modern dan teaterisasi puisi. Jadi, penonton dipaksa untuk menghadap ke timur untuk menonton drama dan teaterisasi, lalu menghadap ke utara untuk menikmati musikalisasi. Cukup merepotkan. Yang agak ganjil, ternyata bagian panggung tambahan yang lebih dipergunakan adalah sisi sebelah utara, bukannya bagian tengah yang lebih ditinggikan. Sudah panggungnya sangat lebar, eh yang lebih dipakai kok yang lebih rendah.
Lalu mengenai detail panggung. Mirip dengan ulasan saya mengenai detail panggung dalam tulisan LDM ETEC, panggung pada MAS kali ini juga sangat minimalis. Hanya menempatkan sebuah bangku panjang serta gantungan burung di sisi utara panggung tambahan, sebuah bangku panjang di sisi tengah, serta kursi kayu dan hiasan bunga di sisi selatan. Menurut saya, sangat disayangkan, panggung yang demikian lebar, hanya diisi dengan asesori yang biasa-biasa saja. Walaupun seandainya ada yang berpendapat bahwa unsur tata panggung bukan merupakan komponen utama dalam sebuah pementasan drama modern, tapi saya percaya bahwa tata panggung yang “wah” akan sangat membantu kualitas pementasan secara keseluruhan. Setidaknya akan memberikan kesan pertama kepada penonton, bahwa setiap aktor nantinya akan tampil dengan “wah” juga.
Melihat detail panggung yang sangat minimalis pada dua pementasan angin dalam hitungan sekitar sebulan, saya sempat khawatir bahwa anak-anak angin mulai kehilangan imajinasi dalam ruang. Tapi jika dikatakan demikian, sepertinya tidak benar juga, karena saya melihat panggung asli aula di sebelah utara, yang dipergunakan untuk musikalisasi puisi, ditata dengan sangat baik, dengan detail yang “wah”, menampilkan kesan porak poranda, sangat sesuai dengan tema konflik yang diangkat. Saya tidak tahu, apakah penata panggung musikalisasi dan drama adalah orang yang berbeda, sehingga menghasilkan penataan panggung dengan kualitas yang berbeda pula, ataukah diatur oleh orang yang sama, dengan maksud-maksud tertentu dalam pembedaannya, yang tidak bisa saya pahami maksud tersebut.
Cukup mengenai panggung, mari kita beralih pada pengolahan naskah. Naskah yang dimainkan oleh anak angin kali ini adalah naskah yang sangat dikenal, karya Motinggo Boesje, yaitu Malam Jahanam. Seperti menjadi kebiasaan anak angin yang tidak pernah puas dengan naskah asli yang ada, kali ini pun mereka merombak beberapa bagian naskah Malam Jahanam. Ada tokoh yang dihilangkan (tukang pijat, yang menurut saya memang tidak berpengaruh terhadap cerita keseluruhan jika dihilangkan), dan ada tokoh yang dimunculkan (Utai, dibuat menjadi sepasang laki perempuan, walaupun saya tidak melihat manfaatnya dalam penambahan ini). Beberapa dialog disesuaikan, dan anak angin memilih untuk menjadikan kematian bayi Paijah sebagai ending klimaks, dengan menghilangkan kenyataan tewasnya Utai dalam perselisihan antara Mat Kontan dan Soleman.
Hanya saja, saya melihat perombakan naskah yang dilakukan agak kurang liar. Pada naskah aslinya, memang inti dari permasalahan sudah bisa ditebak di tengah cerita. Seharusnya anak angin lebih berani untuk menghilangkan bagian-bagian yang bisa ditebak tersebut, sehingga alurnya tetap misteri sampai menjelang akhir, seperti yang pernah diusulkan kalau tidak salah oleh Peter pada saat evaluasi gladi kotor.
Dengan naskah yang telah disesuaikan tersebut, para pemain cukup berhasil memainkan perannya masing-masing, sehingga menjadikan Malam Jahanam sebagai tontonan yang layak untuk dinikmati. Dalam penampilan mereka yang pertama di atas panggung, anak-anak kelas 1 ini telah menunjukkan permainan yang cukup membanggakan. Dengan latihan yang rutin, saya yakin mereka akan menunjukkan kematangannya di kemudian hari.
Malam Jahanam dibuka dengan gesture sepasang pria wanita yang menunjukkan adegan intim. Saya sangat menyukai konsep adegan pembuka ini, buat saya, cukup mendeskripsikan dan bisa menyatu dengan adegan-adegan berikutnya. Hanya saja saya tidak bisa mengomentari apakah gesture yang diperagakan sudah baik atau belum secara teknis, karena jujur, saya tidak memiliki kemampuan untuk menilai gesture, mungkin karena pernah memiliki trauma dengan eksperimen gesture.
Tarian gesture berikutnya,
Nah… tulisan ini tersimpan pada draft dalam kondisi mangkrak hanya sampai di sini. Untuk melanjutkan pun saya sudah lupa mengenai detail kejadian saat itu. Harap maklum aja ya, tanggung kayak gini… he… he….