Adegan Seru?
[Pastikan Anda sudah pernah merayakan sweet seventeen sebelum melanjutkan membaca….]
Banyak lagi cerita tentang Pantai Kuta. Pernah suatu hari, Wahyu bercerita tentang cerita salah satu kawannya, sebut saja Bejo, bukan nama sebenarnya. Dalam cerita itu, disebutkan, pada suatu pagi dini hari, si Bejo menyaksikan sebuah adegan mesum sepasang bule di pinggir Pantai Kuta. Benar-benar adegan mesum seperti di film-film yang dibintangi Asia Carrera. Ketika si Bejo mencoba mendekat untuk menyaksikan lebih jelas, pasangan bule itu bukannya malu, tapi tambah bersemangat, tidak risih sedikit pun. Setelah adegan puncak tercapai, more »
Bermalam di Kuta
Sudah ingat untuk mencontreng tadi siang? Mencontreng atau tidak, Anda tetap berhak untuk berkunjung, membaca, dan berkomentar di teaterangin dot com. 😀
Dari tulisan sebelumnya tentang Kumbasari, mari kita beralih ke Pantai Kuta. Memang menjadi kebiasaan, anak-anak angin 90-an akan berkonvoi menuju Pantai Kuta, setelah puas dengan soto babad Kumbasari. Lebih khusus lagi, Pantai Kuta biasanya dipakai tempat untuk mencari inspirasi, spesifiknya inspirasi operet.
Seperti pada suatu malam minggu, gerombolan anak angin kembali nongkrong di Pantai Kuta. Ngobrol hingga larut malam, bahkan menjelang pagi. Entah sampai jam berapa, akhirnya kita memutuskan untuk pulang. more »
Masih, Tentang Kumbasari
Jika Anda pernah mendengar musikalisasi puisinya anak angin yang berjudul Insomnia, yang diaransemen sekitar tahun 2000 berdasarkan puisiku, In Somnya [1], mungkin Anda cukup familiar dengan kalimat ini, “Typusnya soto babad pojok pasar….”
Sebaris kalimat itu memang terinspirasi dan aku dedikasikan untuk warung soto babad Kumbasari langganan anak-anak angin tahun 90-an. In Somnya [1] aku buat sekitar awal Januari 1997, waktu sudah kelas 3 SMA. Saat itu, warung soto babad Kumbasari mulai jarang memberikan pelayanannya kepada anak angin. Penyebabnya adalah si ibu penjual mulai sakit-sakitan. more »
Dari “Tukang Kebun” – Rabindranath Tagore
Matamu yang mengandung tanya itu duka. Ia mencari-cari hendak mengetahui isi hatiku bagai bulan hendak menduga laut.
Telah kusingkapkan hidupku seluruhnya di muka matamu, tak ada lagi yang tersembunyi atau tertahan. Itulah sebabnya mengapa tak kau tahu aku.
Jika hidupku hanya sebuah permata, akan dapat kupecahkan jadi seratus keping dan kurangkai jadi seutas rantai untuk kukalungkan di lehermu.
Jika ia hanya sekuntum bunga, bundar dan kecil dan indah, akan dapat kupetik dari batangnya untuk kusematkan di rambutmu.
Tapi ia adalah hati, kekasihku. Di manakah pantai dan dasarnya? more »
Tiang Nak Ten Sengaja
Dari sekian banyak cerita tentang soto babad Kumbasari, mungkin kejadian berikut ini adalah yang paling seru, paling menegangkan.
Malam itu, kita berempat, aku, Adhi, Wahyu, dan Jengki, nongkrong di Kumbasari. Seperti biasa, kita memesan soto babad dan minuman kesukaan masing-masing. Kita duduk di sebuah meja persegi di sebelah selatan warung, yang bisa ditempati di keempat sisinya. Jengki dan Adhi duduk di sisi barat, dengan Jengki di sebelah selatan, sementara Wahyu dan aku duduk di sisi timur, dengan Wahyu di sebelah selatan. Setelah masing-masing nambah sepiring nasi lagi, kita pun ngobrol ngalur ngidul, tidak lupa tertawa terbahak-bahak. more »
Kumbasari, Lagi
Ada banyak kejadian yang pernah kita lewati di warung soto babad Kumbasari, tempat nongkrong favorit anak angin tahun 90-an. Berikut beberapa moment yang masih teringat.
Wira ngambul, ngambek. Saat itu, mungkin sekitar Agustus 1995 atau 1996, lupa. Yang jelas deket-deket ulang tahunku. Ceritanya, aku ditodong oleh kawan-kawan untuk traktiran soto babad. Maka malam itu kita janjian ketemu di Kumbasari. Berhubung aku tidak punya motor, maka seseorang ditugaskan untuk menjemput, entah Adhi atau Gantet, aku lupa. Lama menunggu, si penjemput tak kunjung datang.
Karena keterlambatan penjemput, akupun tiba di Kumbasari sangat terlambat. more »
Kumbasari
Mencari nasi jinggo di Kota Denpasar, saat ini begitu mudah. Sore sampai malam, bahkan menjelang pagi, hampir di setiap ruas jalan kita bisa menemukan penjual nasi campur minimalis dibungkus daun pisang, yang dihargai Rp 1.500 – Rp 2.500 per bungkus. Tahun 90-an, nasi jinggo identik dengan Kumbasari. Sepertinya saat itu nasi jinggo hanya dijual di sana, atau setidaknya, di Kumbasari yang paling terkenal. Lokasinya di sebuah gang pinggir Jalan Gajah Mada, seberang pintu masuk ke Pasar Kumbasari.
Kumbasari adalah salah satu tempat nongkrong favorit anak-anak angin tahun 90-an. Orang-orang menyangka, more »
Jenuh, dan Semakin Jenuh
Dulu, ketika akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah blog, saya tahu bahwa suatu saat akan mengalami perasaan seperti yang saya rasakan sekarang, jenuh. Saya juga tahu, musuh utama saya adalah inkonsistensi. Maka, untuk berperang melawan kejenuhan dan ketidakkonsistenan itu, saya mempersenjatai diri dengan sebuah jargon, “Setidaknya setiap Kamis, jam sembilan malam, lewat delapan menit, akan selalu ada kisah baru.”
Jargon tersebut telah menciptakan sebuah tanggung jawab moral kepada diri saya sendiri, untuk tetap menulis. Dengan jargon ini, saya berharap, ketika dilanda kejenuhan, saya bisa tetap [dipaksa] konsisten. more »
Dear Diary
Dalam sebuah kebersamaan, biasanya selalu ada pergesekan. Itu hal yang lumrah. Pergesekan mengarah ke konflik antar individu biasanya terjadi karena perbedaan sensitivitas masing-masing individu tersebut dalam sudut pandang mereka terhadap sesuatu. Cieee… bahasaku sudah keren belum? Soalnya aku mulai bingung dengan apa yang kutulis. Biasanya, semakin aku bingung membaca sebuah tulisan, aku menganggap tulisan tersebut menggunakan bahasa yang luar biasa keren. Wualahhh… 😀
Jadi intinya begini. Cerita ini masih dalam rangka persiapan KCDLL-nya anak angin pada PSR tahun 1995. Dalam naskah KCDLL, terdapat tokoh dokter. more »
Profesor Adhi
PSR tahun 1995, waktu aku masih kelas satu, salah satu group angin memainkan drama Kisah Cinta dan Lain-lain (KCDLL) yang disutradarai oleh Phalayasa. Dalam naskah tersebut terdapat tokoh Profesor. Jika saja KCDLL kita mainkan saat ini, maka yang paling pantas untuk memerankan tokoh Profesor itu adalah aku sendiri, –selain Gantet tentunya– mengingat kondisi rambut di kepalaku yang sudah menipis layaknya seorang profesor. Tapi, 14 tahun lalu, Phalayasa menjatuhkan pilihannya pada Adhi Tiana sebagai sang Profesor.
Suatu sore, setelah latihan KCDLL berakhir, anak-anak angin diundang oleh Dewandra untuk makan malam di rumahnya. more »