Tongkat Estafet Dipegang Wahyu
Untuk mengasah mental tampil anak-anak angin, sangat banyak ajang lomba yang bisa diikuti. Salah satunya adalah lomba baca puisi, yang jaman dulu sangat marak dilaksanakan di Denpasar. Penyelenggaranya beragam, mulai dari Sanggar Minum Kopi, STT Br. Semila Jati, hingga Pemda dalam ajang PSR.
Cerita kali ini adalah seputar lomba baca puisi di Banjar Semila Jati. Terdengar aneh? Banjar mana yang sempat-sempatnya mengadakan lomba baca puisi? Ya itu, Banjar Semila Jati, di bilangan Jalan Gunung Agung. Salah satu tokoh banjar merupakan anggota Sanggar Minum Kopi, saya lupa namanya, beliaulah inisiator untuk mengadakan lomba baca puisi di banjar itu.
Peserta lomba biasanya tidak dibatasi oleh panitia. Ini menjadi kesempatan untuk menyertakan semua anak kelas satu mengikuti lomba, dalam rangka mencari pengalaman serta mangasah mental. Anak kelas dua atau kelas tiga yang ikut biasanya untuk seru-seruan saja, atau memang mengejar juara.
Waktu itu saya sudah kelas dua, dan memutuskan untuk tidak ikut. Saya mendaftarkan Gantet dan semua teman-teman kelas satu, serta beberapa kelas dua yang berpotensi juara. Wahyu Dhyatmika, jagoan baca puisi dari angin yang sudah kelas tiga, memutuskan tidak ikut serta, hanya berperan sebagai pelatih untuk adik-adiknya.
“OK, Wir. Sekarang giliranmu latihan. Baca puisimu, nanti aku kasi masukan untuk perbaikan.” Wahyu tiba-tiba berkata pada saya saat latihan, H-1 sore sebelum perlombaan.
“Lho, aku kan ndak ikut lomba, Yu.”
“Lho, kok ndak ikut? Kamu harus ikut! Aku perlu regenerasi untuk pengganti, yang bisa meraih juara. Dan itu kamu! Besok kan masih bisa daftar, pokoknya kamu harus ikut. Sekarang latihan!” dengan tegas Wahyu bersabda, agar saya mendaftar lomba, karena memang pendaftaran masih dibuka sepanjang penyelenggaraan lomba.
Maka begitulah, saya latihan di bawah arahan Wahyu, dan memilih puisi yang paling pendek, dalam rangka mengambil tongkat estafet jagoan baca puisi darinya. Beban yang begitu berat. Karena saya tahu sejauh mana kualiatas saya dalam membaca puisi. Tapi Wahyu sangat percaya diri bahwa saya mampu memikul beban itu. Yah, I’ll try my best aja lah.
Sepulang latihan, saya membaca kembali sekilas semua puisi pilihan yang ada. Lalu tiba-tiba saya tertarik dengan puisi Gerilya dari W.S. Rendra. Ada satu bait yang diulang beberapa kali: Tubuh biru \ tatapan mata biru \ lelaki berguling di jalan. Otak sok kreatif saya mendadak mendapat ide, saya akan mengganti puisi yang akan saya bacakan besok, dari puisi yang sebelumnya paling pendek menjadi puisi Gerilya yang cukup panjang. Saya merasa bait yang diulang ini bisa saya mainkan. Lalu saya mencoba membuat semacam nada-nada khusus untuk melafalkan bait itu.
Dapat! Akhirnya saya berlatih sendiri membaca puisi W.S. Rendra itu, termasuk dengan nada-nada khusus pada bait tubuh biru, dengan teknik membaca dalam hati, dan beberapa kali berbisik. Tidak mungkin saya latihan di rumah dengan vokal yang maksimal, karena takut dikira orang gila oleh keluarga ataupun tetangga.
Keesokan harinya saya berangkat ke tempat lomba dibonceng Wahyu dengan Honda GL Pro-nya. Saya tidak mengatakan sedikit pun kepada Wahyu tentang rencana mengubah puisi pilihan. Biarlah nanti menjadi kejutan saja. Di atas boncengan motor, saya melatih berkali-kali nada khusus pada bait itu: Tubuh biru \ tatapan mata biru \ lelaki berguling di jalan. Tentunya hanya dalam hati. Mungkin karena terlalu intens saya latih, sampai sekarang pun saya masih ingat nada-nada itu, walaupun kejadian ini sudah lewat hampir 29 tahun! ~tbc