Berkenalan dengan Angin [2]
Masih, kisah ini ketika aku kelas 6 SD. Beberapa hari menjelang acara perpisahan SD-ku yang dilaksanakan di Bedugul, guru-guru memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyiapkan atraksi secara mandiri.
“Boleh apa saja. Baca puisi silahkan, pantomim OK, atau sulap, dance juga boleh. Pokoknya atraksi apapun sebagai hiburan….” begitu kira-kira kata Pak Guru di depan kelas.
Ketika aku ceritakan permasalahan ini kepada kakaku, Eka Santosa, dia yang sedang hangat-hangatnya dengan Teater Angin, dengan bersemangat mengusulkan agar aku mementaskan sebuah drama pendek. Kakakku bersedia membantu membuatkan sebuah naskah singkat, sekaligus mengajarkan kepadaku sedikit-sedikit tentang teori berteater, terutama masalah blocking, dan yang paling aku ingat adalah, “Usahakan sebisa mungkin jangan sampai membelakangi penonton!”
Pada waktu itu, film Nagabonar sedang ngetrend di kalangan anak-anak, karena diputar ulang oleh stasiun TPI, Televisi Pendidikan Indonesia. Maka kakakku membuatkan naskah dengan setting Nagabonar, serta mengadopsi beberapa karakter tokoh Nagabonar ke dalam tokoh-tokoh dalam naskah yang dia buat. Nyanyian yang dilagukan oleh pasukan Nagabonar kita pakai sebagai soundtrack andalan, sebuah lagu yang kita namakan Lagu Mariam Tombong. Naskahnya sendiri tidak dibuat dalam bentuk tulisan, hanya dilisankan kepadaku secara garis besar, dan cukup tercatat di memori otak saja, serta memberikan kebebasan kepadaku untuk mengembangkan sesuai kebutuhan.
Maka, dengan segera aku mengumpulkan beberapa teman untuk bekerja sama mewujudkan pementasan tersebut. Cukup latihan beberapa kali, dan akhirnya, siap tidak siap, kita harus pentas. Itu merupakan pengalaman pertamaku dalam menggarap sebuah pementasan, walaupun dalam skala yang sangat kecil. Mulai dari pemilihan pemain, mengorganisir pemain, menyutradarai, sampai menjadi pemeran utama.
Hasilnya, jika dilihat dari tawa penonton yang meledak hampir di sepanjang pementasan, bolehlah dikatakan memuaskan. Hanya saja, ada sedikit kekecewaan, karena Pak Guru menghentikan pementasan dengan seenaknya sebelum bagian ending kita tampilkan. Mungkin Pak Guru bosan melihat permainan kita, yang memang menyuguhkan adegan dan lawakan secara berulang-ulang itu-itu saja. Mungkin bagi kacamata orang dewasa, itu sangatlah membosankan. Tapi tidak apa-apa, yang penting kita cukup puas, dan lebih puas lagi melihat sambutan penonton dengan tawa mereka.
Cerita ini juga gak pernah diceritakan ke Aku, juga ke Ayah dan Ibuku…
keren juga kok ceritanya.
Waktu qta ktemu SD dulu kmu kok gak prnah crita?
sing percuma kamu merekrutku lo…
Hebat! Kok cerita ini belum pernah kau bagi dengan kami dulu? Jadi tidak salah kami memilih Wira sebagai Ketua Teater Angin termuda, sewaktu masih kelas I kan waktu itu ya Wir?