Segelintir Kisah: Malam Apresiasi Sastra Teater Angin 2013
Perkenalkan, nama saya Gede Wahyu Prasetya. Dulu dipanggil Gungbo, lalu fasih memperkenalkan diri dengan panggilan Pras. Di antara rekan-rekan alumni Teater Angin, saya termasuk yang jarang berkunjung. Kesibukan di kampus Universitas Gadjah Mada memperkenalkan saya dengan jalan yang saya rasa bisa membuat TA bisa jauh lebih baik.
Pada rangkaian acara MAS dua hari kemarin jelas terdapat profesionalitas yang progresif, semakin menuju arah yang lebih baik. Sebelumnya, profesionalitas adik-adik anggota TA sudah baik adanya lewat pengalaman-pengalaman pada event-event yang telah mereka lalui. Selamat kepada TA telah memeroleh juara 1 pada event Reinkarnasi Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Rangkaian acara MAS tidak juga memadamkan profesionalitas dan kreativitas mereka, melainkan menggenjot semangat adik-adik TA untuk tetap bermental juara. Setelah sibuk menjadi panitia, adik-adik dengan tenang mempersiapkan diri kembali untuk mementaskan teater mereka sendiri. Mari kita lihat inti dari MAS, yakni pementasan adik-adik TA pada hari kedua.
Pementasan diawali dengan penampilan musikalisasi puisi berjudul “Huya” oleh Riki Dhamparan Putra. Dilanjutkan dengan penampilan teaterisasi puisi dan disambung dengan muspus kreasi mereka sendiri (dan para alumni. Mohon maaf saya tidak ingat judul-judul puisinya). Sebagai inti dari MAS, TA menampilkan drama berjudul “Lena Tak Pulang” dan pementasan diakhiri dengan muspus yang berjudul “Memburu Matahari” oleh Wayan Sunarta.
Gangguan teknis masih ada, yakni kehadiran hujan deras sejak jam 7 malam yang kian mereda hingga tengah malam, yang mengurungkan niat penonton untuk menonton pertunjukan MAS. Selain itu, bisa kita dengar juga dari kekosongan suara biola pada beberapa penampilan muspus. Syukurnya pada penampilan muspus yang terakhir, suara biola telah terdengar jelas oleh penonton. Penampilan teaterisasi puisi yang bisa kita saksikan sangat mengundang animo seluruh penonton, oleh karena konsepnya yang sangat menarik. Diawali oleh beberapa ekor burung yang hendak terbang bersama, namun mati semua ditembak pemburu. Kedatangan pemburu pun bukan dari panggung sebelah kanan kiri, melainkan dari pintu masuk penonton di depan. Gerakan mereka yang penuh keindahan berhasil menarik perhatian penonton untuk terus menyimak MAS sampai akhir. Terakhir, penampilan Lena Tak Pulang berhasil menyemarakkan acara setelah memainkan dinamika drama sedemikian mahirnya. Namun, setelah memperhatikan kembali semua MAS di mana saya pernah terlibat, saya hanya bisa merasa bosan.
Pertama, adanya penggunaan tirai yang berlebihan memadamkan animo penonton. Tirai digunakan untuk menutup tampilan panggung demi mengganti setting antara pementasan satu dengan pementasan lainnya. Hal ini dilakukan setelah satu pementasan menuju pementasan lainnya (total ada 5 buah pementasan). Kedua, pementasan masih kasar bila dibandingkan dengan konsepnya. Baik muspus, teaterisasi puisi, mau pun drama, dipentaskan setengah-setengah. Penampilan muspus yang pertama dan terakhir masih berada di luar rasa, belum dimainkan dengan perasaan, aransemennya masih kasar dan, terutama sekali, kemahiran para penampilnya belum pantas. Penampilan teaterisasi puisi disokong hanya dengan adanya kostum, setting, dan kemahiran pemain juga konseptor (seluruh penampil) yang belum juga pantas. Yang paling fatal adalah dramanya, setelah menampilkan Lena Tak Pulang yang naskahnya dipotong. Belum lagi dengan adanya penggunaan setting yang terlalu minim, sehingga imajinasi penonton tentang sebuah ruang tamu tidak terpenuhi. Vokal seluruh pemain juga sulit untuk didengar penonton, yang mana sebetulnya bisa diantisipasi dengan penggunaan clip-on supaya suaranya terdengar lebih jelas. Seperti halnya teaterisasi puisi, kemahiran seluruh penampil juga belum pantas. Tidak mengherankan, tetapi tetap juga mengecewakan, setelah mengetahui bahwa persiapan untuk MAS dilakukan hanya selama tiga minggu. Dengan demikian bakat-bakat yang ada dalam TA tidak bisa terasah dengan baik. Ada pun yang saya bayangkan, bisa disebut sebagai degradasi kreativitas, maksudnya yakni, dari tahun ke tahun kualitas MAS kian memburuk (meski memang seharusnya buruk).
Saya memiliki ketakutan tersendiri bahwa MAS yang kian memburuk ini adalah bagian dari sebuah fenomena yang jauh lebih besar. Apa yang saya bayangkan bukanlah suatu hal yang bisa dipublikasikan lebih jelas saat ini, melainkan hanya sebagai bahan pembicaraan dengan alumni-alumni lain. Hal ini berada di luar komentar saya terhadap MAS 2013.
MAS memang harus hancur (mengutip kata seorang alumni), tetapi bukan hancur yang buruk. Hancur dalam artian, adik-adik semestinya bisa menghancurkan diri sendiri yang belum dewasa untuk dirangkai kembali menjadi dewasa demi menghadapi masa depan yang lebih baik. Berhenti jadi anak SMP, kalian sudah SMA, tumbuh rambut di ketiak dan kemaluan! Jadilah anak dewasa yang siap memenuhi harapan orang tua.
sayang ga nonton 🙁
Siapa lagi ya yang bisa dimintakan tolong menulis di blog ini….
Aku merasa bersalah soal biola yang tak terdengar. Tapi biarlah. Setidaknya aku jadi lebih paham bagaimana mengatur clip on untuk biola.
Mantap, Gungbo! Gaya menulismu (termasuk pilihan kata) menunjukkan bahwa kamu sudah jauuuh lebih dewasa. Tidak seperti Gungbo yang aku kenal beberapa tahun yang lalu. Pastinya UGM sudah menuntunmu ke jalan yang benar.