Sampun Ngopi?
Pada tulisan yang ini, saya mengatakan bahwa lomba baca puisi PSR pertama kali diselenggarakan saat saya kelas tiga. Setelah diingat-ingat kembali, sepertinya saya salah. Waktu itu saya masih kelas dua, sehingga belum ada Candra Idiot di Teater Angin, dan adegan latihan antara Ardita dan Candra Idiot tentu menjadi fiktif pada saat itu. Tapi biarlah tulisan itu tetap seperti itu, untuk menambah efek dramatis dengan bumbu-bumbu yang gurih.
Lomba baca puisi PSR waktu saya kelas tiga, akan saya ceritakan kali ini, dengan tokoh utama, sebut saja Budi. Waktu itu Budi masih kelas satu, seangkatan dengan Candra Idiot, sehingga wajib mengikuti lomba baca puisi mewakili Teater Angin. Sebenarnya saya lupa siapa nama sebenarnya dari tokoh Budi ini, tapi biarlah untuk selanjutnya kita tetap menyebutnya Budi. Karirnya tidak begitu panjang di Teater Angin sehingga suatu kewajaran saya melupakannya. Dia lebih memilih untuk menjadi preman di antara teman-teman premannya.
Pada lomba ini Budi memutuskan untuk membaca puisi berbahasa Bali. Sangat cocok dengan karakter wajahnya yang ke-Bali-an, pun logat medoknya. Saya lupa judul puisi yang dipilih, lupa juga bercerita tentang apa. Yang saya ingat hanya satu baris, “Sampun ngopi?” yang artinya adalah sudah minum kopi?
Budi berlatih membaca puisi, dibimbing oleh salah satu kakak kelas tiga. Sementara itu, ada satu tim yang menyiapkan secara terpisah, pengiring untuk puisi yang dibacakan Budi. Semacam ada fragmen singkat berjalan di latar belakang ketika Budi membacakan puisinya. Kalau tidak salah ingat, waktu itu cerita fragmennya adalah tentang suasana di kedai kopi, dengan seorang wanita berperan sebagai dakocan (dagang kopi cantik) dan empat pemuda sebagai pelanggan.
Antara Budi dan pemain fragmen tidak pernah berlatih bersama. Bahkan mungkin, keputusan untuk menghadirkan fragmen di atas panggung itu adalah keputusan yang mendadak, pada hari-H pembacaan. Karena mengirim sangat banyak pembaca puisi, maka beberapa pembaca, yang dianggap sebagai pembaca penggembira, dibuatkan gimmick-gimmick untuk meramaikan suasana. Terinspirasi dari bagaimana tingkah polah pembaca-pembaca puisi angin di masa lampau, yang mendapat gelar Absurd Generation dari STA, kami juga ingin menghadirkan sesuatu yang lain dari yang lain. Termasuk untuk si Budi. Briefing kepada Budi waktu itu hanyalah, dia harus tetap konsentrasi membacakan puisinya sesuai saat latihan, tanpa terpengaruh dengan fragmen di latar belakang.
Saatnya Budi naik panggung. Dia membacakan puisinya dengan penuh percaya diri, dan di latar belakang pun fragmen berjalan sesuai rencana. Tibalah pada baris itu, Budi berteriak, “SAMPUN NGOPIII?”
“SAMPUUUNNN….” empat pemuda pelanggan kedai kopi menjawab serempak.
Di titik itu Budi tampak sedikit kaget. Sesuai briefing, seharusnya dia lanjut saja membaca baris berikutnya. Tapi Budi memilih untuk merespon. Dia menoleh ke belakang, ke arah para peminum kopi, mengacungkan jempol, sambil tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Barulah setelahnya dia melanjutkan membaca. Entah kenapa, adegan spontan itu membuat kami tertawa, termasuk pemain fragmen di atas panggung. Tawa yang sangat natural, yang membuat pembacaan puisi menjadi semakin meriah.
Beberapa gimmick lain juga kami hadirkan di atas panggung, tapi saya lupa detailnya. Yang saya ingat hanya sampun ngopi ini saja, karena cukup berhasil kami mainkan untuk menguatkan branding sebagai Absurd Generation. Bahkan salah satu juri mengapresiasi permainan kami di atas panggung, melalui sebuah tulisan di koran Bali Post. Sang juri mengatakan bahwa yang kami lakukan bukanlah suatu hal yang main-main, tapi sudah berada di level bermain. Sama-sama bertujuan untuk kesenangan, main-main dilakukan dengan sembarangan tanpa konsep, sedangkan bermain berada di level yang berbeda karena dilakukan dengan konsep. Kurang lebih seperti itu.
Walaupun demikian, pembacaan puisi “bermain” yang kami lakukan tidak cukup untuk meraih juara. Memang bukan itu tujuannya, jadi tidak apa-apa. Selama kami masih bisa bersenang-senang, sudah cukup. Lagipula, jangan harap menjadi juara lomba baca puisi selama ada Candra Idiot ikut serta. Dan untungnya, Candra ada di pihak kami saat itu!