Jenuh, dan Semakin Jenuh
Dulu, ketika akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah blog, saya tahu bahwa suatu saat akan mengalami perasaan seperti yang saya rasakan sekarang, jenuh. Saya juga tahu, musuh utama saya adalah inkonsistensi. Maka, untuk berperang melawan kejenuhan dan ketidakkonsistenan itu, saya mempersenjatai diri dengan sebuah jargon, “Setidaknya setiap Kamis, jam sembilan malam, lewat delapan menit, akan selalu ada kisah baru.”
Jargon tersebut telah menciptakan sebuah tanggung jawab moral kepada diri saya sendiri, untuk tetap menulis. Dengan jargon ini, saya berharap, ketika dilanda kejenuhan, saya bisa tetap [dipaksa] konsisten. Setelah hampir lima bulan, sepertinya jargon ini masih berhasil memacu produktivitas saya. Tapi saya tidak tahu, akan sampai kapan bisa bertahan, karena, saat ini saya sudah semakin jenuh.
Kejenuhan itu mungkin dapat Anda rasakan, ketika mendapati dalam tiga minggu terakhir ini, tulisan saya hanya muncul di Hari Kamis, padahal biasanya saya menyempatkan diri untuk menulis di hari lain. Boleh dikatakan, dalam tiga minggu ini, saya hanya memenuhi kewajiban terhadap jargon. Yang Anda juga harus tahu, sebenarnya situasinya lebih parah lagi. Dalam beberapa minggu terakhir, postingan untuk Kamis malam baru saya selesaikan Kamis sore menjelang malam. Padahal dulu, biasanya saya bisa memiliki stok tulisan untuk dua sampai tiga minggu ke depan.
Situasinya saat ini memang sungguh berbeda buat saya. Dulu, tidak ada yang terlalu saya risaukan ketika menulis. Nulis, ya nulis aja, selesai, langsung dijadwalkan untuk di-posting. Lalu, beberapa waktu terakhir ini, kok rasanya saya terlalu banyak berpikir ya. Sepertinya saya mulai semakin terbebani. Setelah beberapa kawan mulai memuji dan menyatakan menikmati tulisan-tulisan saya [entah jujur atau hanya membesarkan hati], maka waktu menulis, yang ada dalam benak saya adalah, “Apa tulisan saya kali ini standarnya sudah sama dengan tulisan-tulisan terdahulu yang dipuji dan dinikmati itu ya?”
Lalu, pernah seseorang mengatakan kepada saya, ketika kebetulan saya tunjukkan salah satu postingan, “Wira, nanti belajar Bahasa Indonesia lebih banyak lagi ya. Untuk nambah-nambah kosa kata.” Ups, ini dia yang memang tidak terlalu saya perhatikan ketika menulis. Kekayaan kosa kata. Yang saya pentingkan dalam tulisan saya memang ceritanya, bukan bahasanya. Jadi, saya sudah cukup puas ketika cerita sudah saya sampaikan, tanpa peduli dengan keindahan bahasa. Nah, dengan adanya komentar seperti ini, ketika menulis saya dibuat berpikir, “Apa pilihan kata yang saya pergunakan sudah memenuhi aspek keindahan dari sisi kesastraan?”
Satu komentar lagi, dari seseorang yang berada di luar lingkaran angin, “Ada beberapa hal dalam ceritamu yang membuat aku bingung. Ada beberapa kata dan istilah yang tidak aku mengerti.” Lalu saya berkilah, “Tulisan ini memang khusus saya tujukan kepada kawan-kawan angin, jadi mungkin beberapa kata atau istilah memang hanya dimengerti oleh anak-anak angin.” Dan dia mendebat lagi, yang membuat saya tidak bisa berkutik, “Kalau kamu memang menulis untuk kalangan terbatas, kenapa juga diposting di web, yang notabene bisa dilihat oleh semua orang!” Hah, akhirnya, setiap menulis, saya menambahkan pemikiran di dalamnya, “Apa bahasa yang saya pergunakan sudah dimengerti oleh semua orang? Apa cerita saya juga bisa dinikmati oleh semua kalangan?”
Yah, semua itu membuat saya tidak nyaman lagi dalam menulis. Menulis sambil memikirkan banyak aspek ternyata tidak gampang. Saya jadi semakin jenuh. Dalam kejenuhan, saya mencoba mencari kesegaran. Iseng saya lihat tumpukan foto-foto di hard disk, dan menemukan beberapa yang menarik. Saya jadi ingin tahu, apa foto-foto ini juga menarik di mata orang-orang. Nah, ndak ada salahnya toh, kalau saya share beberapa foto. Lalu saya membuat photoblog, http://photo.wirasantosa.net/. [Hehe… ketahuan deh, tulisan panjang lebar saya sedari tadi, ujung-ujungnya cuma promosi blog….] Silahkan berkunjung, dan sedianya, saya akan memposting sebuah foto setiap tiga hari sekali.
Kembali lagi ke masalah jenuh. Dengan semakin jenuhnya saya, dan semakin habis juga nostalgia angin dalam memori saya, sepertinya teaterangin dot com benar-benar memerlukan beberapa kontributor. Ayo, saya menunggu sukarelawan untuk menjadi penulis di sini. Siapa pun itu, yang penting merasa memiliki keterikatan emosional dengan angin.
NB: Oh, iya. Beberapa hari yang lalu saya menerima sebuah SMS dari anak angin, mengatakan bahwa anak angin berhasil meraih emas untuk baca puisi putra, dan perak untuk baca puisi putri, dalam ajang PSR. Selamat!
Gung Bo, aku tahu kamu memang penuh misteri. Tapi sebaiknya, lain kali, ndak usah cerita sekalian, kalau memang ceritamu yang setengah-setengah malah membuat aku semakin bingung, semakin kehabisan rambut. Hehe… peace, Gung Bo. Aku tunggu ceritamu yang lengkap, di blog-mu sendiri. Tulislah dengan sebijak mungkin, eliminir segala emosi negatif. 😉
Ya udah. libur aja dulu Wir. Komentar dan kritik macam-macam tak usah terlalu diambil hati. Jangan terlalu sensitif-lah.
Blog ini kan tidak berambisi jadi apa-apa selain pengobat rasa kangen pada komunitas Angin. Kalau ada orang lain yang mampir dan tidak mengerti, ya sudah, dia tak mengerti, lalu harus apa?
Tak usah di-update setiap pekan, kalau memang tidak sempat. Aku termasuk yang menikmati blog ini setiap pekan. tapi kalau pun tidak ada cerita baru, aku tetap akan datang, membaca2 cerita lama. kalau pun suatu saat, aku berhenti datang, lalu harus apa? Tenang saja Wir. Tak ada yang dipertaruhkan di sini. take it easy.
Wah… wah… sepertinya aku belum bisa berlibur, atau beristirahat, begitu saja. Aku tahu, sekali aku memutuskan untuk berlibur, atau beristirahat, maka selamanya aku ingin untuk terus berlibur. Nanti, ada saatnya buat aku beristirahat, rest in peace. [Hehe… kok kayak di batu nisan] Sekarang ini sepertinya belum saatnya. Masih seneng-senengnya mendongeng euy…. 😉
Yah, memang sebisa mungkin aku membuang jauh pikiran-pikiran aneh yang terus bermunculan. Aku berharap tetap bisa menulis dengan santai, cuek, menuangkan apa yang teringat, tanpa terpengaruh lagi hal-hal tertentu.
Thanks for your support. 😉
wah, bli wira konsisten kok, dan jujur. klo sudah begitu pembaca pun pasti maklum adanya. kan dgn begitu tidak membohongi pembaca jdnya. tetap semangat!!
Thanks support-nya Jer. Saya akan selalu semangat!
saia jg sedang mengalami kejenuhan.. normal lah. manusia namanya ya.. hehe.. 🙂
dtunggu tulisan2 yg lain 🙂
Hehe… thanks, ya….
kayaknya wira ingin melawan hukum kelembamam…semangat wir…!
Iya… iya… ayo yang semangat! Mana cheers leader-nya ne? 😀
semangat bli…
Thanks, Doel. Btw, biar lebih semangat lagi, saya butuh cheers leader… 😀
siapa perlu cheersleader?
“cet cet culet cu la lit!!!”
Wah, komenmu yang ini tadinya dikenali sebagai spam oleh akismet nok, entah kenapa. Tadi iseng liat-liat daftar spam, hampir tak hapus semua, untung sempat terlihat sekilas….
mungkin karena kata-kata tak jelas itu “cet cet culet cu la lit”
Mungkin juga ya. Tapi biasanya, yang dianggap spam, hanya yang mengandung link.
bunuh diri adalah obat mujarab
tenang, Wir, seperti kata Wahyu tak ada yang dipertaruhkan disini dan ini hanya untuk mengenang kegilaan yang pernah ada. Tetap semangat Wir. Tanpa sadar sebenarnya Wira udah nolong vi lho, membuat vi bisa ketawa ngakak dan gembira lagi. Cara yang ampuh tanpa obat-obatan. Trims, Wir!!
Iya. Wira mengobati kekangenan kita pada masa-masa gila dulu.
Aku nunggu cerita tentang Kemah Angin di … di mana ya dulu itu nama tempatnya? bagus sekali tempatnya, di pinggir sungai. latihan olah tubuh di atas batu-batu besar, lalu malamnya jurit malam sampai subuh, makan cacing palsu dari usus ayam, lalu ada hantu-hantuannya segala. hehehe…
hehheeh di sibang…aku ikut plonco kalian…
end cinlok juga di sana kwek kwek…
hai…aku anak angin yg sempat menghilang..ntah oleh waktu, ntah oleh ke-“maya” an waktu….
hai aku anak angin yg mungkin dianggap hilang..oleh deru2 di dalamnya,aku hanya sebentuk debu..
aku anak angin yg sempat hilang..adakah kamu merindu karenanya…???
Jengky! Kau cinlok dgn sapa? Cinlok = cinta olok2an?
Btw,jd inget masalah pelantikan. Waktu itu angkatanku kelas 3. Mahabudhi bikin pocong2an buat anak kelas 1. Stelah acara slesai,pocong pun plg ke rmh m.budi yg persis ky teba,di kapal.Pagi2 dadongnya pun hmpir pingsan liat pocong di teba HUAKAKAKAKAKA. Makan godoh dulu,nek!
hi eva. selamat datang ……
kamu jenuh, aku gak, malah aku punya cerita tentang PSR puisi. Namun, cerita itu penuh dengan aib, terutama T***. Karena mereka bersama Angin membuat acara menjadi heboh. Dan mereka juga mendapatkan sebuah peringkat untuk PSR. Tidak dapat diremehkan sedikitpun, karena mereka menggunakan BM untuk peringkat itu.
Lawannya BM? WM.
Wiyata Mandala.
Jelas tidak.
Oiya, nomormu 081916503***, bukan? Nomorku 081558202*** ntar aku coba sms deh.
Btw, grup Angin kok kayaknya mati, ya? Aku sampe dikeluarin dari grup entah karena apa, mungkin karena e-mailku yang ngundang Y! Messenger. Padahal aku pengen nyebarin berita lewat sana.