Annamaya (dari LDM ETEC)
Judul tulisan ini diganti tanggal 13 Maret 2010.
Judul sebelumnya: Janji-nya Anak Angin (dari LDM ETEC)
Thanks buat Gungbo atas koreksinya yang sangat terlambat… 😉
Update 24 Maret 2010: berita mengenai LDM ETEC di Bali Post, klik di sini.
Tulisan ini hanyalah sebuah review terlambat, tentang keikutsertaan anak-anak angin dalam sebuah lomba drama modern bertajuk LDM ETEC, yang diselenggarakan pada tanggal 19-20 Desember 2009 oleh mahasiswa UNUD (kalau tidak salah dari Fakultas Ekonomi, atau Teknik? Gungbo, tolong dikoreksi….) Kita patut berterima kasih kepada para mahasiswa penyelenggara lomba ini, karena di saat aktifitas drama modern mulai terpinggirkan -dengan dihilangkannya Lomba Drama Modern dalam Pekan Seni Remaja Kota Denpasar sebagai salah satu indikator- mereka dengan beraninya menyelenggarakan Lomba Drama Modern Tingkat SMA/SMK se-Provinsi Bali. Salut!
LDM ETEC ini bisa dibilang cukup unik, karena panitia mewajibkan setiap peserta untuk membuat naskah sendiri. Sebelum penyelenggaraan LDM, naskah yang masuk diseleksi terlebih dahulu, untuk menentukan naskah-naskah yang layak untuk ditampilkan dalam LDM. Terpilihlah 8 naskah, satu diantaranya dari anak angin yaitu “Janji” “Annamaya”.
Janji Annamaya, menurut saya sebuah naskah yang sederhana, dengan alur yang mudah dicerna. Janji Annamaya, mencoba untuk memberikan pesan kepada kita, bahwa ketika kita sudah mengucapkan sesuatu, maka sebisa mungkin kita harus berjuang untuk mewujudkan ucapan tersebut. Janji adalah hutang yang harus dibayar, mungkin merupakan istilah yang sangat tepat. Diceritakan, seorang pemuda telah berjanji untuk selalu setia, menunggu sang kekasih, meskipun terlalu banyak rintangan bagi mereka. Bahkan, sampai kematian hendak memisahkan mereka, si pemuda tetap setia.
Dari segi permainan, saya melihat setiap tokoh telah memainkan perannya dengan cukup baik, untuk ukuran teater sekolahan. Yang membuat saya terkejut adalah setting panggung yang dibangun oleh anak-anak angin. Amat sangat sederhana, dengan hanya menempatkan sebuah kursi taman di tengah panggung, serta sebuah lampu taman di sayap kiri panggung. Tidak seperti kebiasaan-kebiasaan sebelumnya, dimana panggung angin akan dipenuhi dengan detail-detail yang sungguh menyerupai keadaan aslinya, sehingga terlihat megah dan indah. Meskipun demikian, saya tidak merasa terganggu dengan kesederhanaan panggung ini, karena toh memang tidak terlalu urgent untuk menghadirkan taman asli ke dalam panggung.
Yang membuat saya lumayan terganggu adalah garapan musik serta lighting. Untuk musik, anak angin hanya mempergunakan gitar dan ketipung. Saya mengamati petikan gitar tidak benar-benar mengiringi permainan peran di atas panggung. Keduanya kadang-kadang bagaikan sesuatu yang terpisah, berdiri masing-masing, gitar tidak bisa memperkuat aksi panggung. Apalagi ketipung. Suara ketipung, yang dipukul sesekali menyerupai degup jantung, dengan interval yang random, belum bisa membangun suasana panggung, dan kadang tidak membantu dalam mencapai klimaks permainan.
Untuk lighting, anak angin menempatkan satu buah lampu bawah di tengah depan panggung, satu buah lampu taman berdiri di sayap kiri panggung, serta dua buah lampu atas, di depan panggung, di sudut kanan kiri. Untuk lampu bawah, saya benar-benar merasa terganggu dengan efek bayangan yang ditimbulkan di latar panggung, yang kadang-kadang membesar bagaikan raksasa ketika pemain bergerak ke depan, serta menyusut normal ketika pemain kembali ke belakang. Sementara itu, lampu taman berwarna merah redup cukup berhasil untuk membangun suasana dramatis, walaupun kadang-kadang terlihat berkedip-kedip, entah disengaja atau kecelakaan. Dan untuk lampu atas, sepertinya setingan arahnya kurang pas, atau mungkin para pemain yang kurang pas menempatkan posisi, sehingga ekspresi wajah tidak diperkuat oleh sinar lampu, malah yang lebih ditembak adalah bagian badan dari pemain. Dan kadang-kadang beberapa pemain kurang sadar dengan posisi lampu dalam bloking panggung, dimana kadang terlihat pemain di belakang tertutup bayangan pemain yang lebih di depan.
Dengan segala penglihatan pribadi saya yang terungkap di atas, ternyata secara keseluruhan anak-anak angin berhasil meyakinkan dewan juri. Dengan segala jerih payah, akhirnya anak angin mencapai hasil yang membanggakan. Angin berhak mendapatkan yang terbaik untuk pementasan, penyutradaraan, musik ilustrasi, serta tata artistik. Sementara itu, pemeran utama pria dan wanita masing-masing berada di posisi ke-2. Selamat! Tetap berkarya, dan selalu kreatif! Toooooooooppp….
Hehe… ndak gitu juga Yu. Layak jadi yang terbaik kok. Dari 8 peserta, aku cuma nonton 4 doang, termasuk angin. Dari 3 pementasan di luar angin, menurutku, hanya Teater Tiga yang boleh dibilang mendekati performa-nya angin. Hanya saja, nilai minusnya, ada beberapa pemain mereka yang seperti membaca puisi dalam berdialog. Agak-agak aneh aja dengernya, kurang natural. Terus, dua yang lain, memang lumayan parah. Yang satu, kalau ndak salah dari Kuta, sangat-sangat monoton. Ceritanya, ada sidang pembunuhan. Jadi, sepanjang pementasan, mereka hanya membentuk formasi seperti di ruang sidang, duduk rapi di kursi, dengan dialog-dialog tanpa pergerakan pemain. Diperparah lagi dengan menempatkan jasad korban pembunuhan tepat di depan tengah-tengah panggung, di atas meja, sehingga menutupi pemain di belakangnya. Pementasan satunya lagi tidak kalah membosankan. Dialog para pemain masih terlihat mentah. Sepertinya mereka masih dalam taraf menghapal naskah, dan parahnya lagi, asal berteriak. Ritme dan temponya kurang diatur dengan baik. Yah, kemungkinan, sisa 4 pementasan yang lain ndak jauh-jauh seperti ini juga. Jadi, angin layak menang. TOOOP!!!
kau udah bisa jadi penulis theatre critique Wir…masukin Bali Post gimana?
wira.. edit. judul naskahnya: Annamaya.
siapa yang ngasi tau sih?
Oh… OK. Dengan ini diperbaiki, judul naskahnya anak angin adalah Annamaya. Maaf atas kesalahan ini. Hehe… ndak ada yang ngasi tau soalnya, jadi aku interpretasikan sendiri aja. Sorry 😉
yeee
tanya nae
nah wir. telat. nah.
Tooooooooppppppp!!! Kalau Wira jadi jurinya, kalah tuh Angin..kritiknya mantap, semoga dibaca dan dijadikan pelajaran oleh anak2 Angin sekarang.