Godot, Badge, dan Kontributor [lagi]
Kebetulan tadi saya sempat membuka email yang di yahoo. Ada sebuah pesan singkat dari seorang kawan, bunyinya begini, “Salam Bli WIra,,, Ditunggu postingan tentang MASnya..”
Lalu barusan, seorang kawan yang lain menulis komen di sini yang isinya senada, meminta saya untuk menulis review tentang pementasan Menunggu Godot dari MAS-nya anak-anak angin. Pada awalnya, sebelum pementasan, saya memang berniat untuk menulis review yang paling tidak akan diposting Sabtu atau Minggu kemarin. Tapi setelah pementasan, niat itu tiba-tiba hilang begitu saja. Namun, kedua kawan ini telah mengingatkan saya akan sebuah tanggung jawab. Jika saya sudah menulis sebuah preview, maka harus diakhiri dengan sebuah review. Maka inilah dia, review Menunggu Godot-nya anak angin, yang saya gandengkan dengan dua buah topik lain, Badge dan Kontributor, menjadi sebuah postingan three in one.
Pertama, tentang Malam Apresiasi Sastra Teater Angin tahun 2009. Godot, yang ditunggu oleh anak-anak angin pada tanggal 30 Januari 2009 di Aula Smansa Denpasar, ternyata tidak datang. Walaupun pada akhirnya tidak datang, dan juga tidak jelas siapa sebenarnya si Godot, saya sempat mengabadikan beberapa moment perjuangan anak angin sewaktu Menunggu Godot tersebut.
Dengan berbekal Sony Ericsson K660i, secara amatir, saya beraksi mengambil beberapa foto dan video. Foto-foto bisa Anda lihat di [meminjam gayanya Doel] sini, sini, sini, sini, sini, sini, sini, sini, sini, dan sini. Jika Anda tidak nyaman untuk klik satu per satu link tersebut, foto-foto bisa dilihat di Facebook, pada group angin absurd. Sedangkan video saya upload di Youtube, bisa klik di sini, sini, sini, sini, sini, dan sini. 😉 Selain saya, ada juga kawan lain yang mendokumentasi dengan peralatan yang lebih canggih, dan tentunya lebih profesional. Untuk hasil dokumentasi yang lebih mantap itu, mungkin ada kawan-kawan yang bisa memberi tahu telah di-share di mana?
Hmm… saatnya bagian yang paling susah dari tulisan ini. Apa yang bisa saya review tentang MAS tahun ini? OK, inilah pengamatan saya, dimulai dari proses latihan. Persiapan dengan sungguh dan penuh semangat telah dimulai sejak awal Desember, sebelum ulangan umum, yang dimulai dengan casting. Ini sungguh berbeda dengan jaman dulu dalam ingatan saya, dimana persiapan segala sesuatunya selalu mendadak, seminggu dua minggu sudah untung. Untuk hal ini, saya acungkan dua jempol buat anak angin, untuk segala semangat, komitmen, dan dedikasinya.
Lalu ada gladi kotor dan gladi bersih, yang dilaksanakan empat hari dan tiga hari sebelum pementasan. Sungguh luar biasa, karena biasanya, [jaman dulu] empat hari dan tiga hari sebelum pementasan adalah saat-saat krusial, crowded, masih dalam proses penghalusan, bongkar konsep sana-sini. Saya acungkan dua jempol lagi, untuk manajemen waktu yang luar biasa, sehingga sudah didapatkan bentuk yang fix jauh-jauh hari, memungkinkan para pemain untuk beristirahat dan memiliki energi yang cukup untuk pementasan.
Oleh anak angin, aula diset memanjang utara-selatan, tidak secara normal yang melebar barat-timur. Panggung aula di sebelah utara tidak dimanfaatkan. Dibuat panggung baru dengan membuat level di pertengahan utara selatan sebelah timur, menghadap ke barat. Di sebelah utara dan selatan level dionggokkan tanah lalu ditanami dengan pohon tanpa daun di utara, dan pohon berdaun di selatan. Rumah pengatur elektronis, lighting dan sound, dibuat di sebelah barat menghadap ke timur, sejajar dengan level. Saya melihat panggung ini terlalu luas, dan terlalu rendah di bagian utara dan selatan, sehingga kenyamanan penonton agak terganggu terutama penonton yang di belakang.
Saya juga menyayangkan pilihan kostum dalam pementasan ini. Semula saya berharap anak angin membuat sebuah pementasan yang original, tanpa meniru teater lain. Tapi dari cuplikan film pementasan Menunggu Godot oleh teater di belahan dunia lain yang sempat ditayangkan pada waktu gladi bersih, saya mendapat kesan bahwa anak angin meniru pementasan itu. Sedianya cuplikan film ini juga akan ditayangkan pada waktu MAS, tapi untung saja dibatalkan, sehingga penonton yang lain kemungkinan tidak akan mendapat kesan yang sama seperti saya.
Menunggu Godot malam itu dibuka dengan tampilnya dua anak angin dengan gesture, olah tubuh, melukiskan penantian akan sesuatu. Selanjutnya, dialog dan konflik antara Vladimir dan Estragon dalam penantian mereka akan Godot. Saya memuji inisiatif anak angin yang membuat masing-masing dua tokoh untuk Vladimir dan Estragon, sepasang bermain di panggung utara dan sepasang di selatan, walaupun tidak terlalu berhasil dalam menyatukan dua orang menjadi satu karakter. Selama menunggu, Vladimir dan Estragon kedatangan Pozo dan budaknya, Lucky, yang mereka kira sebagai Godot. Pozo juga diperankan oleh dua orang, Pozo yang angkuh dan Pozo yang buta tak berdaya.
Anak angin juga menempelkan tiga buah musikalisasi puisi ke dalam pementasan, dibarengi dengan tarian gesture dan film pendek hasil shootingan anak angin. Hanya saja saya melihat penempelan ini agak dipaksakan, karena pada akhirnya tidak berhasil untuk mendukung pementasan secara keseluruhan. Hanya sekedar tempelan.
Setelah berakhirnya pementasan, saya begitu gembira melihat kegembiraan anak-anak angin. Mereka bersorak-sorak, menari, menyanyi, dan sempat mengusung seorang pemain ke udara, dielu-elukan. Sepertinya mereka sungguh puas dengan penampilan mereka. Tapi hal ini sangat bertolak belakang dengan komentar dari beberapa penonton pada saat evaluasi. Menurut penonton, pementasan anak angin sangat datar, tidak menghibur, membosankan, tidak ada greget. Yah, harap maklum, pementasan ini didominasi oleh anak-anak kelas satu yang mungkin baru pertama kali berkenalan dengan panggung. Pada saatnya nanti, dengan latihan yang lebih serius, mereka akan lebih matang.
Beralih ke topik kedua, tentang badge angin. Sempatkah Anda melirik ke bagian kanan dari blog ini? Anda melihat ada sebuah badge angin nangkring dengan cueknya? Ya. Beberapa waktu yang lalu Made “Doel” Suryawan ngusul untuk membuat sebuah badge angin. Setelah sekian lama, iseng, saya ngutak-atik CorelDraw 11, dan lahirlah desain yang saya sebut dengan “kanggoang malu”. Dari Corel, desain ini saya export ke Adobe Photoshop 7, lalu saya save ke dalam format png. Badge ini saya ujicobakan pada tiga buah browser, Mozilla Firefox 3.0.4, Internet Explorer 6.0, dan Opera 9.25. Ternyata efek transparan hanya terlihat memuaskan pada Firefox dan Opera. Sedangkan pada Internet Explorer, warna dasar yang transparan berubah menjadi abu-abu. Oh, ya. Karena desain badge ini adalah desain yang kanggoang malu, maka saya berharap ada kawan yang mau membuatkan badge yang lebih OK lagi. Predi mungkin? Atau Dadap? Siapa saja?
Dan akhirnya topik terakhir, tentang kontributor. Mungkin Anda sudah membaca postingan saya yang berjudul Ceritangin Needs Contributor(s). Nah, sampai saat ini baru dua kawan yang tertarik menjadi kontributor, yaitu ititut4rya dan gungbo. Saya berharap blog ini mulai diramaikan dengan tulisan dari kawan-kawan yang merasa memiliki ikatan emosional dengan angin. Untuk menjadi kontributor, cukup dengan memberi tahu saya melalui email, [email protected], atau langsung menulis komen di sini. Nanti akan saya berikan username dan password untuk login di teaterangin.com ini. Ditunggu.
Ah, masak? Kenalin saya juga dong…. 😉
review yang amat menarik, jujur, objektif, tahu saatnya memuji dan juga tahu saatnya memberi kritik yang pas, tidak meruntuhkan mental, tapi mendorong untuk lebih baik di masa depan. Bravo untuk penulisnya, dan bravo untuk anak Angin yang berani mencoba sebuah naskah yang berat. Top…
Hehe… review yang aku sampaikan secara lisan sesaat setelah pementasan selesai, malah membuat beberapa anak angin sakit hati…. Memang lebih mudah mengontrol emosi ketika menulis, dibanding ketika menyampaikan secara langsung….
beh, jeg telat raga nok… tak pasang dulu badge nya bli… contributor? Hmmm.. saya jadi pembaca dulu aja ah… hehehe… nice post, bro…
Yup, thanks ide badge-nya. Hmm… saya juga sebenernya pingin jadi pembaca aja. Ayo dong, nulis-nulis nostalgia….
wah sepertinya saya kenal bunyi pesan itu!