Perang Leak, Pocong, dll
Tibalah saatnya pementasan Komidi Sebabak di PSR 1996. Di saat-saat terakhir sebelum pentas, ada ide untuk membuat Pak Dul terlihat ompong, dengan cara menyelipkan kertas karbon di gigi. Setelah dicoba, effectnya terlihat bagus. Maka kuselipkan kertas karbon di gigiku, tanpa peduli berbahaya atau tidak.
Belakang panggung selalu menjadi tempat yang menegangkan dalam setiap pementasan. Saat-saat sebelum naik panggung, yang dibutuhkan hanya konsentrasi, konsentrasi, dan konsentrasi. Jangan terpengaruh hal-hal di luar pementasan. Kebetulan kita mendapat giliran pentas kedua. Dan kabar yang terdengar, para suporter pementasan sebelumnya masih memenuhi area penonton. Pastinya mereka ingin menghadirkan teror mental buat kita. Konsentrasi, Wir. Fokus. Itu hanya akan menjadi teror kelas kacang.
Tanah sudah memenuhi panggung. Kain layar sudah membentang di belakang. Level-level tertutup kain hitam sudah dibangun. Termasuk sebuah menara tempat peristirahatan Pak Dul. Pohon-pohon kamboja tertanam hampir di setiap sudut. Ksirarnawa telah berubah menjadi kuburan. Dengan bau kemenyan yang menyengat. Di sayap kiri kanan panggung sudah bersiap-siap petugas bola api. Dua buah bola api ini terbuat dari kain yang kita buntal kira-kira sebesar bola tenis, lalu dilumuri minyak tanah. Tidak lupa karung goni basah disediakan untuk menangkap bola dan memadamkan apinya. Lighting OK. Musik OK. Panggung sudah siap. Inilah pementasan anak angin, dengan Komidi Sebabak.
Lampu mati. Musik mencekam. Sinar perlahan menerangi kain layar. Siluet, adegan Hasim mencekik Ibu Bidan. Ibu Bidan terkapar, Hasim melarikan diri. Lampu mati. Saatnya perang leak. Petugas di sayap kiri menyalakan bola. Lalu melempar jauh ke seberang. Perang leak dimulai. Bola api melayang. Ups, efek api tidak terlalu bagus. Sinarnya tidak terlalu terang, sangat redup. Hap, walaupun agak melenceng, bola api berhasil ditangkap. Bola kedua dari sayap kanan mesti lebih bagus. Dinyalakan lagi. Dilempar. Kali ini bola melayang terang sesuai harapan. Inilah perang leak, bung. Hap, bola kembali ditangkap. Sinar redup di panggung. Saatnya pocong keluar dari liang kubur. Melompat-lompat di sekeliling panggung. Akhirnya, Komidi Sebabak dibuka dengan sukses, walaupun riuh penonton mencemooh. Bukan mencemooh karena hancur, tapi lebih karena perasaan iri. Mereka ini golongan suporter pementasan sebelumnya.
“Assalamualaikum, ya ahli kubur….” Pak Dul muncul di panggung dengan menggendong kelinci. Adrenalinku berlipat. Jantungku terpompa kuat. Dan penonton semakin riuh mencemooh, berteriak-teriak kesetanan. Teror dimulai. Tapi aku tantang mereka. Kupandang berkeliling ke seluruh area penonton, seolah berkata, “Ayo, sampai putus pun urat tenggorokan kalian, aku tidak akan peduli.” Beruntung, lighting yang menyilaukan mata sedikit membantu menghalangi kontak mata langsung dengan penonton. Kontak mata langsung mungkin akan membuat aku grogi. Tapi aku tetap harus menambah power vokalku, kalau tidak mau dewan juri tidak mendengar dialogku. Tapi kertas karbon ini sungguh menggangu, membuat suaraku tidak keluar lepas. Di saat kesempatan berbalik badan, dengan sigap tanganku segera mencopotnya dari gigi. Pak Dul tidak lagi ompong.
Dialog berikutnya mengalir begitu saja. Kehadiran wanita gila yang diperankan Ika Permata Hati menambah semarak pementasan. Pun keluarnya Kardena sebagai Hasim membuat pementasan semakin lengkap. Kita benar-benar telah tampil total. Puas sekali rasanya. Tapi ada satu cacat yang aku buat. Ending story, Pak Dul harus naik ke menara, dengan dialog, “Sudah 20 tahun aku mengabdi di sini sebagai penggali kubur. Sudah 20 tahun…. Ha… ha… ha….” Hahaha… ketawaku jelek banget. Sungguh ketawa yang tengal. Sangat tengal. Hahaha… malu sekali rasanya.
Jangan terlalu percaya dengan ingatanku, Jer. Sebagian atau seluruhnya mungkin telah mengalami perekayasaan. Hihihi… Oh, ternyata efek samping menyelipkan kertas karbon ke gigi adalah ketawa tengal. Kehenapa gaha bihilang dahari dahulu Jer?
beh heboh pisan eue…e.e.e…pentas anak angin nak…, kunaun atu ntek ayak rangda, pangpang nak, kudu aya rangda atu nyak supaya seremm..m.m.m.m.
Wah Bli, waktu itu kita susah nyari tokoh rangdanya. Seandainya Bli ada di sana, mungkin Bli yang paling cocok jadi rangda. Ga pusing kita mikirin tata riasnya. Habis, Bli kan mirip banget ama rangda. Hueheheh…
wah mantab ceritanya..saya bisa mengikuti cerita dari om wira, serasa melihat pementasan tersebut..runut dan jelas..mantab, btw ajarin acting dung..pengen belajar juga..pengen ngelakoni manusia tengil, pokoe tengil..kira-kira imprive nya pegimana yah?
hehe..lam kenal, jangan lupa mampir ke gubuk saya yah.. tnx..nurhadi13.
Wow, thanks berat Bli Nurhadi. Saya sungguh tidak menyangka, seseorang di luar komunitas angin mampir di sini dan mengapresiasi tulisan saya. Sungguh memberikan semangat tambahan yang luar biasa buat saya. Soal akting, hihihi… saya bukan ahlinya. Mending minta diajarin Made Suryawan atau Gung Wie aja. Mereka tuh jagonya…. Salam kenal.
hahaha.. susah klo ketawa mikir bli.. =p
Hahaha… apalagi di saat otak kita sedang jalan-jalan ke pantat ya… tambah susah tuh ketawanya….
Hahaha….. waktu itu kita hampir membakar panggung Ksirarnawa Wir… salahsatu bola api yang dilempar Phala, dengan sangat bersemangat, tidak berhasil ditangkap Wahyu Landung, atau siapa gitu. Terus menggelinding jatuh ke panggung bawah, sambil terus menyala. Apinya udah menjilat-jilat ke atas, waktu aku dan Sucahya buru-buru mematikannya dengan kain goni basah yang sudah kita persiapkan sebelumnya. Nyaris saja….. Kayaknya setelah PSR tahun itu memang paling gila-gilaan persiapannya ya. Aku masih inget setting dan properti yang kita buat untuk ‘RSU’ gak muat di Ksirarnawa. Blok panggungnya saja sampai satu truk…..
Itu sebabnya, tahun-tahun berikutnya LDM PSR hanya kebagian tempat di Wantilan Taman Budaya. Hihihi…. Tentang RSU, kita angkut semua meja satu kelas sebelah ruang BP, untuk membuat panggung yang menurut dewan juri “tidak sehat”. Tidak sehat karena dewan juri akhirnya kita usir ke belakang? Huihihihih….
aku pengen denger ketawa tengalmu lg,lo !!!!
disini bs diperdengarkan ketawamu gak ?
Bisa kok, bisa… klo kamu ga denger juga, sisihkan sedikit gajimu untuk beli cotton bud…. 😀
salam kenal namaku i made alit supardika anak nusa dua
waw, detil ingatan tentang pentas ini mantap Bli, dirimu memang berada disana lahir batin, hehe.
hmm.. ketawa tengal? itu lah sebenarnya akibat dari “Maka kuselipkan kertas karbon di gigiku, tanpa peduli berbahaya atau tidak” wakakakaka
nb:tenang Bli, kadang ketawa sy jg tengal,fufufu..