Membelah Bali [1]
Tau ndak? Dulunya aku hampir saja masuk Trixxx. Kalau itu kejadian, tentu saja blog ini ndak akan pernah ada ya. Dulu aku agak-agak minder, soalnya ndak bisa naik motor, ndak punya sepeda motor, apalagi mobil. Kendaraanku saat itu hanyalah sebuah sepeda balap yang setangnya melengkung. Trixxx lah yang lebih memberikan ruang buatku untuk sepeda ini, dengan semboyan plesetan, “Datang dan Pergi dengan Sebuah Sepeda!” Smansa kan terkenal dengan car and money nya. Salamnya aja Karmany kok! Untung saja ada beberapa provokator. Yang pertama adalah Pak Astawa, guru Biologi SMP 1, bapak dari sahabatku, Adhi Tiana. Katanya, “Ngapain ke Trixxx? Smansa jauh lebih baik!”
Trus anaknya ikut-ikutan ngompori, “Iya Wir! Kita ke Smansa aja, bareng lagi. Klo masalah sepeda, ndak usah minder lah. Aku juga bakal naik sepeda ke Smansa kok….”
Ah, setelah kupikir-pikir, benar juga. Buat apa minder? Toh kakakku juga naik sepeda ke Smansa selama tiga tahun. Walaupun kadang-kadang sepedanya digantung di atas pohon sama temen-temennya yang jail. Maka, di sini lah aku sekarang, di depan laptop, menulis cerita tentang nostalgia angin tahun 90-an, bukannya nostalgia tixx tahun 90-an. [Teater Tixx adalah grup teater yang dimiliki Trixxx]
Wuih, prolognya udah panjang banget ya…. Sebenernya aku bukannya mau cerita tentang asal muasal masuk Smansa, atau tentang persaingan Smansa dengan Trixxx, apalagi persaingan angin vs tixx. Tapi cerita ini memang ada kaitannya dengan sepeda. Saat itu, ada tiga anak angin yang mengendarai sepeda ke sekolah. Selain aku dan Adhi, ada juga Ardita. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja tercetus ide spontan nan gila untuk keliling Bali dengan bersepeda. Wuah, ini ide asyik juga kayaknya. Tapi memang sih, waktu ide itu tercetus, aku ndak begitu mikirin untuk segera merealisasikannya. Paling nantinya hanya akan menjadi sekedar ide tak bertanggung jawab, alias ndak mungkin dilaksanakan. Saat itu kalau ndak salah sekitar bulan Februari 1996, setelah rapotan catur wulan kedua.
Sore keesokan harinya, sedang enak-enaknya tidur di rumah, aku dibangunin sama Ardita, “Woi… ayo brangkat!”
“Oaahm… brangkat ke mana? Kamu ganggu tidurku aja….”
“Adhi sudah menunggu di sekolah….”
“Mau ngapain nih?”
“Ayo kita bersepeda keliling Bali!”
Gubrakz…. Seserius inikah ide brillian nan gila tak bertanggung jawab itu? Aku sudah ndak bisa berpikir. Antara sadar dan tidak, aku menyiapkan sekenanya perlengkapan yang mesti dibawa. Sesudah mencuci muka ala kadarnya, aku dan Ardita menuju sekolah.
“Mek Ayan, saya mau kemah di Blahkiuh sama teman-teman….” pamitku penuh kebohongan sama bibiku. Aku takut, kalau jujur bilang mau naik sepeda keliling Bali, nanti ndak dikasi ijin. Hal yang sama ternyata juga dilakukan Adhi kepada orang tuanya, hanya Ardita saja yang jujur.
Sesampai di sekolah, Adhi sudah menunggu sambil tiduran di sofa sekretariat angin yang masih numpang sama KISS-1. Terpaksa deh dia kita bangunin untuk sesegera mungkin berangkat, karena waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Sebelum berangkat, kita meninggalkan pesan dengan secarik kertas lalu ditempel di lemari angin, mengatakan tentang keberangkatan kita sekaligus minta doa restu. [to be continued]
Mungkin saat itu kita lagi beruntung Yu. Orang-orang yang kita temui di perjalanan semuanya memang baik banget. Pelajaran berharga yang mengubah diriku setelah perjalanan itu? Apa ya, aku ndak tahu Yu. Aku pun ndak sadar, apa perjalanan itu telah mengubah diriku, telah mengubah cara pandangku tentang hidup, entahlah. Terserah pada interpretasi dan imajinasi pembaca untuk memaknainya. Perjalanan itu mungkin saja hanya sebuah proses having fun. Di balik kesenangan yang kita peroleh, entahlah. Yang tersisa dari perjalanan itu sampai saat ini, mungkin hanya sebuah perasaan bangga. Aku sudah tidak bisa mengingat bagaimana lelah letihnya menjalani petualangan itu, tapi aku masih merasa bangga karena kita pernah melakukannya. Aku akan selalu bersemangat ketika menceritakan hal ini, dengan sedikit nada sombong tentunya, “Aku pernah lho, keliling Bali naik sepeda!” Hihihi…. Walaupun aku sadar, bahwa banyak orang yang memiliki petualangan yang lebih gila dari petualangan kita. Tapi, buat kita bertiga, petualangan ini memang layak dibanggakan. Bukan begitu Dhi, Ar?
Oooo jadi ternyata keliling bali naik sepeda toh?..pantes Mbok yan keliling cariin de’wah… Wah kalau gitu tak laporin nanti kebohongan kalian ke Mbok Yan..biar dihukum disuruh pegang kumis seharian he he..
Tapi aku salut, ternyata anak Angin memang gila dari dulu hingga sekarang dan generasi berikutnya ternyata lebih edan….
Weleh… weleh… jangan Bli, jangan dilaporin… ntar kumis saya dicabut, hihihi….
beh ide gila sajane to, beh kengken rasanya naik sepeda keliling bali, eh entar dulu keliling bali apa keliling bale? nak beda joh to wir
Beh, ga pengalaman keliling bale, Bli. Ayo kapan-kapan kita keliling Bali naik sepeda Bli… rugi punya sepeda baru….
ah,,kapan sih bli Wir ga gila..
*dum..dum..dum…lg nunggu lanjutannya*
Eh, Wie jangan salah. Saya waras kok. Dua temen saya tuh yang gila. Karena saya ditugaskan menjaga mereka sepanjang waktu, jadi deh ngikut kemana pun mereka pergi… nasiiib…. 🙂
lanjut terus wir….aku masih terngiang-ngiang tidur di mengwi, gitgit buleleng, dengan anak kiss di bedugul dan di kintamani bangli. entah darimana datangnya ide itu. aku juga kagak habis pikir…sampe sekarang masih mikir kalo disuruh lagi he..he….
Kalau ndak salah, ide awalnya itu dari Jengki deh. Kayaknya dia pernah cerita tentang perjalanannya naik sepeda kemana gitu. Trus kita terinspirasi. Atau kayaknya, dia yang ngajakin kita berpetualang naik sepeda, tapi akhirnya dia kita tinggal… hihihihi….
Cool Bli Wir…Ini dia ide edan bin sedeng yang patut ditiru..apa sie yang gag mungkin bila kita punya sedikit tekad dan sepeda…wakaka..hasilnya Bali terbelah…
Gag sabar nunggu cerita selanjutnya..
Hehehe… iya, Bali hanya terbelah. Awalnya pingin mengelilingi Bali, mengambil rute pantai, tapi apa daya hanya bisa membelah doang, dengan rute Denpasar – Mengwi – Bedugul – Gitgit – Singaraja – Kintamani – Tampaksiring – Denpasar. Kanggoang….
good!
ak juga hampir masuk trxxxx karena pgn jadi dokter… ud 10 besar TPA dsana… tapi karena terprovokasi teman2 agar aku masuk TA akhirnya aku daftar pake NEM ke smansa… dan diterima dengan nomor urut teratas… (NEM paling gede! timpal ane ngelah NEM gede be metrima nganggo TPA soalne) jujur, ak ga niat masuk TA awalnya… hehe… akhirne buung dadi dokter payu dadi blogger… hahaha….
Hah? Apa korelasinya, masuk Trixxx dengan jadi dokter? Klo masuk Smansa ga bisa jadi dokter ya? Btw, profesi blogger tidak kalah mulia dengan dokter kok Dap… 🙂 Keep blogging….
@dap
iya apa hubungan masuk trxxxx dengan jadi dokter?
@wira
eniwei trxxxx itu apa? gdubraks…
(dari tadi baca ternyata masih nanya haha….)
eniwei salam kenal dari anak smansa….singaraja tapi hehe….
eniwei ceritanya bagus wir…ente dulu masuk itb angkatan berpa, kayaknya pernah ktemu dulu di mgg ya?
Thanks kunjungannya, Made Eniwei… hehehe… Smansa Singaraja ga tahu Trixxx ya? Hahaha… hanya ada di Denpasar tuh…. Saya masuk MGG tahun 1997. Mestinya saya tahu Made, karena PPAB MGG tahun 1999 saya yang tanggung jawab. Tapi setelah ngeliatin fotonya Made di Facebook, saya berpikir lamaaa… ni orang siapa ya? Kok aku ga inget… hehehe… sory ya De, daku melupakanmu. 😉 Salam.
nah…wira itu anak smansa yang berjiwa trisma…! hidup trisma…trisma…trisma…
ha ha, ti** itu maksudnya kita kan?
namun, dimanapun kita sekolah, yg penting adalah : belajarnya. 😀
ide paling gila. aku masih geleng-geleng kepala sampai sekarang. tapi mungkin kenekatan kalian bertiga itu didasari keyakinan yang amat besar –yang mungkin kadang agak naif– pada kebaikan sesama manusia. hehehe…… mungkin harus ditulis di sini Wir, apa pelajaran paling berharga, yang “mengubah” dirimu pasca perjalanan itu.