Toya Bungkah (The Absurd Generation Part 2)
Mari kita ingat-ingat kembali pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya tentang periodisasi sastra. Jika saya katakan Poedjangga Baroe, mungkin akan ada yang langsung teringat dengan Sutan Takdir Alisjahbana (STA), pengarang novel Layar Terkembang. Bersama A.A. Pandji Tisna, sastrawan angkatan Poedjangga Baroe lainnya asal Buleleng, pengarang novel Sukreni Gadis Bali, STA mengunjungi Toya Bungkah untuk pertama kalinya pada tahun 1930-an. Lalu pada tahun 1970-an STA mendirikan Balai Seni Toya Bungkah.
Sekitar tahun 1992, anak-anak angin mengikuti lomba baca puisi di Balai Seni Toya Bungkah, yang disaksikan langsung oleh STA. Dasarnya sudah gila, pembaca-pembaca puisi dari angin menghadirkan model pembacaan yang nyeleneh, aneh, ajaib, eksentrik, menggelikan, pokoknya gila-gilaan, lain daripada yang lain.
Coba bayangkan. Sanding menyalin ulang setiap baris puisi pilihannya ke dalam selembar kertas, satu baris satu lembar kertas, lalu mulai membacanya dari kursi penonton, melompat-lompat dari kursi belakang hingga ke panggung. Setiap selesai membaca satu lembar kertas, kertas dihamburkan ke udara. Sampai di atas panggung, lembar kertas habis di tangan, dan pembacaan puisi selesai.
Agus Merdeka, sesuai dengan branding namanya, membuat heboh seisi gedung dengan teriakan, “MERDEKA! MERDEKA! MERDEKAAA!!!”
Eka Santosa, membaca puisi layaknya pembaca puisi normal, dengan volume suara pelan cenderung berbisik. Namun di akhir pembacaan, Eka tiba-tiba berteriak kencang dan membuat kaget juri dan penonton, “SEKIAN! TERIMA KASIH!”
Entah keanehan apa lagi yang ditampilkan anak angin lainnya. Saya tidak berada di lokasi saat itu, saya hanya mendengar ceritanya, tapi saya bisa membayangkan kegilaan yang terjadi. Anak SMA mana yang mau melakukan hal mustahil nan tidak masuk akal seperti itu?! Namun, selalu ada tim serius di tengah orang-orang gila ini. Tim yang diisi oleh Dimas Hendratno, Wini Artini, Krishnaningrat. Mereka membaca puisi dengan berkelas dan elegan, dan layak membawa gelar juara.
Keesokan harinya, anak-anak angin berkesempatan bertemu dengan STA. Agus Merdeka tidak melewatkan kesempatan itu, dengan meminta tanda tangan STA di jaketnya. STA mungkin teringat dengan kegilaan yang dihadirkan anak-anak angin pada saat lomba. Lalu, sambil membubuhkan tanda tangannya, STA berujar, “Kalian ini, absurd generation….”
ABSURD GENERATION! Label yang disematkan oleh STA, sastrawan yang namanya menghiasi buku-buku Bahasa dan Sastra Indonesia, seorang tokoh Poedjangga Baroe, kepada anak-anak SMA “gila” yang tergabung dalam Teater Angin. Anak muda mana yang tidak bangga mendapat apresiasi seperti itu! Maka, sejak saat itu, anak angin membawa serta kemana pun label itu. Teater Angin. The Absurd Generation.
Anak muda mana yang tidak bangga mendapat apresiasi seperti itu? Ada! Suka tidak suka, ternyata ada satu anak angin yang saya ketahui mempertanyakan gelar absurd ini. Imam Wahyudi. Dia mengatakan, kata absurd tidak melulu memiliki konotasi positif. Absurd bisa juga berarti tidak jelas, sinting, sesat akal, sakit ingatan, ganjil, sesuka hati, serta konotasi negatif lainnya, “Bagaimana jika STA menyematkan anak angin itu absurd dengan konotasi negatif? Masihkah kita harus berbangga?”
Iya, ya… samah2 diposting di Kamis malam, samah2 diposting di teaterangin dot com, samah2 ditulis oleh penulis terganteng sedunia akhirat! Sungguh jarang terjadi! Akankah perbedaan itu dapat mengakibatkan konflik internal?
postingan yg paling beda konklusinya padahal sama2 diposting d malam kamis. atau kamis malam?