Tongkat Estafet Masih Dipegang Wahyu
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Akhirnya tiba giliran saya untuk membacakan puisi W.S. Rendra berjudul Gerilya dalam lomba baca puisi di Banjar Semila Jati. Sebelum naik panggung kepercayaan diri saya begitu tinggi. Saya sangat yakin dengan hasil latihan mandiri saya, walaupun dilakukan dengan membaca dalam hati dan berbisik, serta mengganti puisi tanpa sepengetahuan pelatih, Wahyu Dhyatmika.
Namun ketika saya mulai menyenandungkan nada-nada ciptaan sendiri dalam membacakan bait pertama, tiba-tiba saya merasa kikuk sendiri. Suara dan nada yang keluar dari mulut saya tidak seperti apa yang saya bayangkan ketika latihan. Saya baru menyadari bahwa latihan baca puisi tidak bisa dilakukan dengan membaca dalam hati, ataupun dengan berbisik.
Kepercayaan diri saya runtuh. Tapi the show must go on. Dengan tertatih-tatih saya tetap menyelesaikan pembacaan puisi sesuai rencana. Lalu saya turun panggung dengan perasaan yang kacau balau, walau mendapat tepuk riuh dari kawan-kawan angin. Saya benar-benar merasa tidak puas dengan penampilan saya. Saya malu dengan diri sendiri, malu dengan kawan-kawan, dan terutama malu dengan Wahyu. Sia-sia saya latihan dengannya, dan hasil latihan saya campakkan untuk digantikan dengan pembacaan sampah yang saya lakukan.
Jelas sudah, saya tidak pantas menerima tongkat estafet dari Wahyu. Jelas sudah, kali ini saya akan dibantai habis oleh Wahyu. Tapi ketika kembali duduk di barisan penonton, saya tidak mendapati Wahyu di sana. Sekilas saya lihat dia berada di meja pendaftaran panitia, dengan wajah murung. Pastinya karena kecewa dengan penampilan saya. Lalu dia menjauh entah kemana.
Entah berapa lama, saya termenung mengutuk diri sendiri. Tiba-tiba saya mendengar anak angin bersorak gemuruh. Ketika melihat ke panggung, saya mendapati Wahyu telah berdiri di sana, bersiap untuk membaca puisi. Rupanya ketika saya melihatnya di meja panitia, dia mendaftar untuk mengikuti lomba, lalu menjauh untuk mempersiapkan diri.
Wahyu membacakan puisi paling pendek seperti yang saya pilih pada latihan kemarin, dengan gaya seperti yang dia latihkan kepada saya. Memang luar biasa, dengan suasana hati (mungkin) yang tidak baik akibat melihat pembacaan saya, Wahyu masih bisa menguasai diri untuk membaca puisi dengan baik. Setelah membaca, dia turun panggung dengan wajah murung, lalu duduk di antara anak angin.
Wahyu menjadi pembaca terakhir pada lomba hari itu. Beberapa anak angin tetap tinggal untuk menunggu pengumuman juara dari dewan juri. Ketika saatnya diumumkan, angin meraih juara tiga yang dipersembahkan oleh Wahyu Dhyatmika, peserta dadakan. Anak angin yang tersisa bersorak sorai menyambutnya.
Dalam perjalanan pulang, di atas boncengan motor Honda GL Pro-nya Wahyu, saya duduk menyesali diri sambil memandangi piala Wahyu yang saya pegang. Jika saja saya tetap dengan rencana awal pada saat latihan bersama Wahyu, mungkin dia tidak perlu repot turun gunung untuk menyelamatkan nama besar angin. Mungkin nama saya yang akan tercatat sebagai juara tiga dan berhak atas piala itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan tongkat estafet masih dipegang erat Wahyu Dhyatmika.
Syukurnya, ketika Wahyu sudah tamat SMA, ada anak kelas satu bernama Candra Idiot. Jagoan baru baca puisi dari anak angin. Selama tiga tahun masa baktinya, Candra selalu menjuarai setiap lomba baca puisi yang ada. Wahyu, tenang saja. Tongkat estafet sudah aman dipegang Candra Idiot.