Tiang Nak Ten Sengaja
Dari sekian banyak cerita tentang soto babad Kumbasari, mungkin kejadian berikut ini adalah yang paling seru, paling menegangkan.
Malam itu, kita berempat, aku, Adhi, Wahyu, dan Jengki, nongkrong di Kumbasari. Seperti biasa, kita memesan soto babad dan minuman kesukaan masing-masing. Kita duduk di sebuah meja persegi di sebelah selatan warung, yang bisa ditempati di keempat sisinya. Jengki dan Adhi duduk di sisi barat, dengan Jengki di sebelah selatan, sementara Wahyu dan aku duduk di sisi timur, dengan Wahyu di sebelah selatan. Setelah masing-masing nambah sepiring nasi lagi, kita pun ngobrol ngalur ngidul, tidak lupa tertawa terbahak-bahak. Lalu muncullah empat orang berbadan kekar, layaknya preman pasar, duduk juga di meja kita. Dua orang di sisi selatan, dua orang lainnya di sisi utara. Untuk lebih jelas, berikut denah posisi duduk kita berdelapan.
Tiba-tiba, tidak lama setelah keempat preman tersebut mendapatkan pesanan soto babadnya, si C menggebrak meja, diam mematung dengan pandangan mata tajam menusuk ke Jengki.
[Dialog berikut ini sebenarnya menggunakan Bahasa Bali, tapi untuk konsumsi blog ini, akan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, kecuali bagian tiang nak ten sengaja, yang artinya saya tuh ndak sengaja]
“Ngapain kamu diam begitu, ndak makan sotomu?” tanya si D kepada kawan di sampingnya, si C.
“Itu Bli,” jawab si C sambil menunjuk ke Jengki, “daging bekas tusuk giginya masuk ke mangkuk sotoku!”
Suasana yang semula penuh tawa kita berempat, berubah sunyi menegangkan penuh amarah si C.
“Maaf Bli, tiang nak t… t… ten… sssngaja….” kata Jengki terbata-bata meminta maaf. Jengki orangnya memang agak gagap, apalagi dalam suasana tegang seperti ini, maka semakin gagaplah dia.
“Apa Bli bilang? Bli memang sengaja?” kata si C menggebrak meja sambil bangkit dari duduknya, mengira Jengki mengatakan tiang nak sengaja. Temannya, si D, mencegah dan menenangkan si C untuk kembali duduk.
“Maksud teman saya ini, dia ndak sengaja Bli. Teman saya ini memang sedikit gagap.” kata Wahyu mencoba ikut menenangkan.
“Apa? Gagap Bli bilang? Gagap itu ndak seperti itu Bli. Gagap itu… a… a… a….” kata si C sambil mencoba memperagakan orang gagap versi dia.
Suasana semakin tegang. Aku yang paling takut, karena posisi duduk yang paling dekat dengan si C. Salah-salah, aku yang kena sikat pertama kali. Ketika kita pesankan soto babad baru untuk si C dan berniat untuk membayarkan sebagai permohonan maaf, si C tetap tidak mau makan. Lama terdiam, kita berempat saling pandang, dan saling mengerti arti pandangan masing-masing, untuk sesegera mungkin meninggalkan warung, demi menghindari hal-hal yang lebih buruk.
Jengki bangkit dari tempat duduknya, menghampiri si C, dan mengulurkan tangannya dengan kaku sambil mengucapkan maaf. Tanpa diduga, si C tidak menerima uluran tangan Jengki, dia malah melayangkan sebuah pukulan ke arah muka Jengki! Untung saja Jengki sangat sigap, sehingga sempat menghindari pukulan itu, dan tidak sampai kena. Si D memegangi si C sambil terus menenangkan. Sementara kita berempat buru-buru kabur setelah membayar. Fiuhhh… sungguh menegangkan.
Setelah keluar area pasar, Jengki menjelaskan bahwa sebenarnya bukan daging sisa tusuk giginya yang masuk ke mangkuk si C. Dia hanya menyentil sesuatu yang teronggok di atas meja, dan sentilannya itu hanya tiba di sekitar area mangkuk si C, tidak sampai masuk ke dalamnya. Hhh… untung saja ketiga teman si C lebih sabar menghadapi situasi. Kalau tidak, mungkin kita berempat keluar pasar dalam keadaan bonyok, secara, postur tubuh kalah jauh dari mereka.
Ssst… jangan keras-keras Suk! Sara ne… sara…. 😉
hajarrrrrr
Haha… ampun Dok… ndak brani… sumpah, ndak brani… 😀
sangat tidak wajar kalian mengambil posisi seperti itu, soalnya B-T itu lebih panjang dari U-S.
(kecuali kalo U-S nya sudah diambil orang pas kalian datang)
tidak wajarrrr…, wajarrr, jalllll
Masak Suk? Meja yang paling selatan itu kan persegi? Ndak ada yang lebih panjang deh perasaan. Atau jangan-jangan kita ndak sepakat masalah arah di Kumbasari? 😉
ooo sori aku kelewatan yang “sebelah selatan” nya hehe. aku kira meja yg paling utara (yg cek punya cek ternyata bukan punya ibu soto babad nya tapi pinjem dari dagang yg baru datang kalo subuh)
Haha… mungkin sejak kedatangan anak angin, si Ibu butuh meja tambahan, soalnya kita suka nongkrong lamaaa….
Ada satu kata-kata Jengki yang kuingat pasca insiden itu, “Aku kan ikut Tapak Suci,” untuk menjelaskan bagaimana dia dengan sigap menangkis pukulan musuh ketika uluran tangan permohonan maafnya ditolak.
Tapak Suci? Perguruan mana pula ini? Yang latihan di Aula Smansa tiap Purnama itu?
hehehe…
Waaaaa….pa kbrnya si jengki?!!
Kabar Jengki, bisa dimonitor di http://jengki.com/
yang latihan tiap purnama di aula SMANSA itu Bambu Kuning.
Oh, Bambu Kuning… trus, Tapak Suci itu?
wahwahwah…
baru tahu kalo Bli jengki agak gagap,,
oya kalo ga salah Bli Jengki baru menang Singaambararajaaward lo…
hehe
Wah, selamat buat Jengki! Tahun depan giliran Rasti yang dapet awardnya… 😉
dulu gagap, sekarang mungkin sudah sembuh…
Dulu gagapnya keluar, kalau sedang sangat bersemangat… 😉
tapak suci, atau merpati putih ya? pokoknya jenis2 traditional martial arts gitu…
Atau Satria Nusantara? 😉
yeee, Bambu Kuning!!!
Sabar… sabar… yang latihan tiap Purnama di Aula Smansa itu memang Bambu Kuning. Tapi kita lagi ngomongin perguruan apa yang diikuti Jengki. Tapak Suci, Merpati Putih, atau Satria Nusantara….
Tapak Suci itu silat yang afiliasinya Muhammadiah, kalau Pagar Nusa NU
Semakin jelas. Nah, Jengki itu Muhammadiah atau NU? 😉
Jadi jelas bukan Tapak Suci atau Pagar Nusa, karena Jengku jelas bukan Muhammadiyah atau NU. Kayaknya yang bener itu bambu kuning, Haur Koneng.
Berarti bener kata adikku, Jengki itu Bambu Kuning. Tapi, kok ndak pernah liat dia ikut latihan di Aula Smansa ya?
maksudku Jengki..
Ini dah, kalau ngetiknya terlalu bersemangat… 😉
huahahaaa….untung saat itu aku masih sakti…jadi pukulan preman itu tak sampai pada mukaku. coba kalo sampe pasti gantengku ilang hahahaa
to wira: sialan jugak kau, kenang peristiwa itu dalam kepalamu yang lengar…heheh…penuh memori jugak ya
Wah, JENGKI! Selamat datang. Penyair berbadan “Tiga”, tapi jiwanya “Angin”!
Halo JENGKI!!!!
rumahku di angin…sobat-sobatku yang makin tua, botak dan uban…
saat insiden kumbasari itu, aku sedang proses latihan tenaga dalam, jadi pukulan preman itu bukan kutepis, tapi mental hehee
kalik aza doi mabok hehee
ada-ada aja …
begitulah kalo membawa2 anak trisma ke smansa