Rest in Peace, Nek….
Tulisan ini tersimpan sebagai draft dengan data last modified tertanggal 20 April 2010, sehingga paragraf pertama menjadi tidak relevan dengan situasi saat ini. Abaikan saja.
Pada beberapa postingan terakhir, teaterangin dot com kerap membahas mengenai kejadian-kejadian aktual di seputar Teater Angin. Nah, mari kita kembalikan semangat awal dari munculnya blog ini, yaitu NOSTALGIA!
Kali ini saya ingin membongkar ingatan saya tentang Mahabudhi, tamat SMA tahun 1998, salah satu anak angin yang menurut saya paling gila di jamannya. Mahabudhi termasuk agak telat memulai karier di angin, jika dibandingkan kawan-kawan seangkatannya semisal Gantet, Rahayu, Bagas, Iswahyudi, dll, karena dia baru gabung beberapa saat setelah acara pelantikan. Saya agak-agak lupa motivasi dari Mahabudhi untuk bergabung dengan angin. Yang saya ingat, dia mendapat sambutan yang sangat meriah waktu pertama kali duduk di lingkaran angin.
Wahyu Dhyatmika: “Kamu punya mobil ndak?”
Mahabudhi: “Punya….”
Wahyu Dhyatmika: “OK! Kamu langsung diterima sebagai anak angin!!!” (diikuti tepuk tangan dan sorakan meriah dari anak angin yang lain)
Ya, Mahabudhi langsung disambut dengan suka cita, …. (Draft tulisan ini berhenti sampai di sini, dan selanjutnya akan saya coba untuk menuliskan kelanjutannya sesuai dengan ingatan saat ini.)
Semenjak Phalayasa kuliah ke Bogor, maka di masa itu tidak ada anak Angin yang membawa mobil ke sekolah. Sehingga, mobilisasi massa agak susah saat itu, terutama untuk keperluan mengangkut properti pementasan dari sekolah ke tempat pentas. Kalau mobilisasi anggota sih, kita sudah terbiasa dengan sistem konvoi motor. Nah, ketika ada calon anggota yang ingin masuk Angin, tidak perlu jago akting, tidak perlu hebat baca puisi, cukup punya mobil! Syarat itu telah dipenuhi dengan mutlak oleh Mahabudhi. Maka sah, dia adalah anak Angin.
Berdasarkan cuplikan cerita, kemungkinan besar “Nek” dalam judul tulisan ini merujuk pada Nenek dari Mahabudhi, yang sepertinya di awal-awal tahun 2010 saya mendengar berita bahwa sang Nenek telah meninggal dunia.
Mahabudhi sempat merantau di Dumai bersama orang tuanya, namun akhirnya pada saat SMA pulang kampung ke Bali, tinggal bersama Nenek dan kakak-kakaknya di Desa Kapal. Rumah Mahabudhi sempat menjadi markas anak-anak Angin, walaupun relatif jauh dari Smansa. Oleh karena itu, beberapa anak angin sempat berinteraksi dengan Neneknya Mahabudhi.
Ketika pertama kali akan menulis cerita ini, mungkin banyak ingatan saya terlintas tentang Nenek. Namun, ketika saat ini mencoba mengingat-ingat kembali, hanya tiga keping ingatan yang masih tersisa. Pertama, sang Nenek kerap tidur mengigau (atau pura-pura mengigau) sambil memeluk parang. Kedua, sang Nenek selalu konsisten berbahasa Bali walaupun cucunya lebih mengerti bahasa Indonesia. Ketiga, sang Nenek terbiasa dengan ramah menawarkan setiap makanan yang ada kepada tamu-tamu cucunya. ~to be continued~
Hehe…