Maaf, Saya Tidak Tahu Perubahan Nomor Undi!
Sebagai pemanasan sebelum melanjutkan part 2 tulisan yang ini, mari kita coba bernostalgia dengan kisah lama bersemi kembali. Baiklah, mari kita mulai. Judul tulisan ini mengacu pada kalimat yang diucapkan oleh Imam Wahyudi, sesaat setelah dia tergopoh-gopoh naik panggung pada ajang lomba baca puisi Pekan Seni Remaja (PSR) Kota Denpasar, sebelum membacakan puisi pilihannya.
Waktu itu, mungkin sekitar akhir tahun 1996, untuk pertama kalinya ajang PSR melombakan baca puisi. Saya yang sudah kelas tiga, ditunjuk oleh Ketua OSIS sebagai ketua rombongan tim baca puisi Smansa Denpasar. Rombongan tentu saja terdiri dari semua anak angin kelas satu yang dipimpin Ariani dengan maskot Candra Idiot, ditambah sebagian besar anak angin kelas dua yang digawangi Gantet dan Imam Wahyudi.
Pada awalnya semua berjalan normal seperti biasa, tidak ada gejolak. Naskah puisi pilihan sudah di tangan. Technical meeting kita ikuti dengan baik, termasuk sudah mengantongi nomor undian masing-masing peserta. Latihan berjalan lancar, dimana beberapa anak angin kelas tiga mengambil inisiatif untuk melatih adik-adiknya. Dalam hal latih-melatih ini, Ardita, teman sekelas saya, sungguh selangkah di depan. Dia memilih untuk melatih secara privat Candra Idiot, pembaca puisi berbakat secara alami, termasuk juga bidadari yang paling cantik nan menggairahkan. Memang, untuk hal yang beginian, Ardita layak dipanggil Puh, Sepuh!
Lalu datanglah prahara itu, di Hari-H. Rombongan anak angin bergerombol menuju tempat lomba, sudah siap dengan puisi masing-masing, serta estimasi kapan akan tampil ke panggung berdasarkan nomor undi yang didapat. Namun tak ada angin (eh, ada ya?) dan tak ada hujan, panitia memutuskan untuk mengocok ulang nomor undi untuk seluruh peserta tanpa alasan yang jelas. Masak sih catatan nomor undi waktu technical meeting hilang? Entahlah. Namun walaupun agak dongkol dengan keputusan itu, kami sebagai peserta bisa apa?
Nomor undi baru, diberikan kepada setiap sekolah sesuai dengan jumlah pesertanya, lalu ketua tim melaporkan nama-nama yang didaftarkan dengan nomor undi baru itu kepada panitia. Sekilas yang saya ingat pada waktu itu, dua nomor undi paling awal yang didapat anak angin adalah nomor empat dan tujuh. Nomor empat saya ambil sendiri, dan nomor tujuh saya berikan kepada Imam Wahyudi, yang saya anggap paling siap secara mental untuk tampil di awal. Nomor berikutnya dikantongi oleh Gantet.
Ketika saatnya MC memanggil peserta dengan nomor undi empat, saya maju dengan geram dan penuh amarah. Lalu sebelum membaca puisi saya menyampaikan sedikit hujatan kepada panitia terkait perubahan nomor undi yang mendadak. Saya lupa bagaimana kalimat lengkap yang saya ucapkan, tetapi kurang lebih saya menyampaikan bahwa panitia sangat tidak profesional dengan mengubah nomor undi di detik-detik terakhir dan mengabaikan hasil technical meeting. Kemarahan saya itu tentu saja sangat berpengaruh dengan pembacaan puisi. Mas Yoki (Kuda Putih) sebagai juri, menyampaikan kepada Adhi Tiana, bahwa penampilan saya sangat kacau. Puisi bernuansa romantis kok disampaikan dengan penuh amarah. Iya sih, tapi tidak usah menunggu saya marah untuk membaca puisi dengan tidak benar. Setiap saya baca puisi pasti tidak benar kok. Kah kah kah.
“Selanjutnya, kami panggil peserta dengan nomor undi tujuh.” suara merdu MC memanggil Imam Wahyudi.
Imam yang duduk di belakang, di sebelah kursi saya, bergeming.
“Sekali lagi, kami panggil peserta nomor undi tujuh untuk naik ke atas panggung.” sekitar sepuluh detik setelah panggilan pertama, kembali MC memanggil Imam.
Imam tetap bergeming.
“Panggilan terakhir kepada peserta dengan nomor undi tujuh, jika tidak naik ke panggung akan kami diskualifikasi.”
Satu… dua… tiga… empat… lima… tiba-tiba Imam bangkit dari tempat duduknya dan berlari ke depan menuju panggung, sebelum MC membuka suara untuk menyatakan diskualifikasi. Lalu berkumandanglah kalimat fenomenal itu, dari mulut Imam Wahyudi, dibarengi dengan muka tololnya.
“Maaf, saya tidak tahu perubahan nomor undi….” lalu anak-anak angin yang lain, yang tidak tahu nomor undi sesama temannya, pun tidak tahu skenario yang saya susun bersama Imam Wahyudi, bersorak gemuruh menyambut sarkas yang disampaikan Imam. Saya sempat melirik beberapa panitia hanya bisa tersenyum kecut.
Tidak berhenti sampai di Imam, Gantet pun menyampaikan gimmick-nya terkait perubahan nomor undi itu, tapi saya lupa tepatnya apa yang dia lakukan. Namun selanjutnya keadaan kembali normal. Setelah puas melampiaskan kekecewaan kepada panitia, anak-anak angin berikutnya tampil sesuai dengan skenario pada latihan. Dan hasilnya adalah, tentu saja, Candra Idiot meraih juara pertama! Ardita bertepuk dada dengan bangga, “Itu hasil latihan denganku….”
Oh iya, samar-samar saya teringat gimmick yang dilakukan Gantet waktu itu. Hampir sama kayak Imam, dia sengaja naik panggung setelah panggilan ke-3, lalu mohon maaf terlambat karena barusan habis main layangan. Gitu kalau ndak salah. CMIIW.
Syukurlah aku sing taen milu baca puisi. Buang2 waktu gen