ANGIN: Antologi Puisi Bersyarat
Tulisan ini saya persembahkan (dan abadikan) untuk Adhi Tiana. Kalau bukan karena Adhi, karena tekad, kegigihan, serta perjuangan dan pengorbanannya, maka tidak akan pernah ada antologi puisi bersama yang diterbitkan Teater Angin di tahun 1997. Antologi puisi yang berisi 21 puisi dari 21 anak angin di masa itu, namun sayang, tidak ada satu puisi pun dari Adhi!
Seingat saya, waktu itu Adhi Tiana lah yang paling bersemangat untuk mewujudkan proyek antologi puisi ini. Entah ide awalnya dari mana, tapi eksekutor yang merealisasikannya adalah Adhi. Sepulang dari Jakarta menerima hadiah juara dua lomba cipta cerpen tingkat nasional, Adhi mulai sibuk meminta anak-anak angin untuk menulis puisi. Adhi juga yang menghubungi Juniarta, alumni angin yang wartawan, untuk minta tolong kepada Tan Lioe Ie, penyair kuda putih, menjadi editor dalam antologi nanti. Tan Lioe Ie menyanggupi, walaupun ada syarat aneh yang diajukan Adhi.
Sepulang dari Jakarta, rupanya Adhi sangat meresapi apa yang pernah dinyatakan Pramoedya Ananta Toer. Jika ingin abadi, maka menulislah. Adhi ingin mengajak anak-anak angin menjadi abadi. Maka muncullah syarat aneh itu. Menyadari bahwa hanya segelintir anak angin yang memiliki kemampuan menulis puisi dengan baik, maka Adhi meminta kepada Tan Lioe Ie agar meloloskan satu puisi untuk setiap satu penulis. Jadi, siapa pun yang mengirim puisi saat itu, se-tidak-baik apapun hasilnya, nama sang penulis akan terukir indah di antologi bersama puisinya, abadi. Jika tidak ada syarat itu, maka hampir bisa dipastikan antologi ini hanya akan berisi puisi-puisi dari Arie Mayuni dan Ika Permata Hati, dua penulis yang pada masanya sudah dianggap matang.
Maka demikianlah, antologi telah tercetak. Semula saya tidak tahu siapa-siapa saja yang telah mengirimkan puisi, karena saya tidak terlibat langsung dalam proses pencetakan. Namun saya kaget ketika mencermati satu per satu nama dari 21 penulis, tidak ada Adhi Tiana! Saya sedih, sungguh amat disayangkan, dia yang membawa angin menuju keabadian, tapi dia tidak abadi bersama kami. &^%$#@!?
Ketika menemukan sebuah foto kawan-kawan yang tidak ada saya di dalamnya, kadangkala saya berkelakar. Oh, foto itu saya yang jepret. Pada jaman itu memang jarang orang-orang ber-swafoto, karena handphone belum booming serta tak jamak yang memiliki tripod atau monopod dan sejenisnya. Jadi, harus ada satu orang yang memegang kamera di seberang, mengatur komposisi, lalu memencet tombol shutter, dan merelakan dirinya tidak terabadikan dalam gambar. Maka, dalam hal antologi ANGIN ini, Adhi Tiana lah pemencet tombol shutter itu. Dan saya tidak sedang berkelakar.
yuk lanjutkan,,
langkah pertama adalah memanggil calon-calon penulisnya dulu hehe
Syarat aneh yang Adhi ajukan kepada Tan Lioe Ie, agar setiap penulis mendapatkan kesempatan abadi dalam antologi, adalah bukti nyata dari keinginan Adhi untuk memberikan kesempatan kepada setiap anggota untuk berkontribusi, tanpa memandang kemampuan menulis mereka. Ini menunjukkan sebuah filosofi yang mendalam tentang inklusivitas, penerimaan, dan pentingnya setiap suara dalam sebuah komunitas.
Kenyataan bahwa Adhi sendiri tidak tercatat sebagai salah satu penulis dalam antologi tersebut, menambahkan lapisan lain dari pengorbanan dan ketulusan. Ia seperti fotografer yang memilih untuk berada di belakang kamera, mengabadikan momen tanpa menjadi bagian dari momen tersebut. Melalui perbuatan dan pengorbanannya, Adhi telah mengukir namanya tidak hanya dalam antologi itu, tapi juga dalam hati dan ingatan setiap orang yang terlibat dan akan membaca kisah ini.
Versi kelakar dari ending cerita ini adalah sebagai berikut. Menyadari bahwa hanya segelintir anak angin yang memiliki kemampuan menulis puisi dengan baik, maka Adhi Tiana memutuskan untuk tidak mengirim puisi satu pun. Siapa yang mau abadi bersama tulisan-tulisan yang kualitasnya dipertanyakan? Jatuh dong wibawa Adhi sebagai runner-up lomba cipta cerpen tingkat nasional! Kasihan Arie Mayuni dan Ika Permata Hati….
Oh, ya. Bagaimana dengan ide membuat antologi untuk alumni? Sudah mangkrak berapa tahun nih proyeknya? Gas, yuk dilanjutkan?