Aku Bosan Jadi Patung!!!
Ada yang pernah? Dalam sebuah pementasan, selalu berada di atas panggung, tapi tidak sebagai pemeran utama! Ada yang pernah? Aku pernah…. 😉
Ini kejadiannya waktu aku sudah kelas 3. Kalau tidak salah, untuk acara Malam Apresiasi Sastra (MAS) tahun 1996, sekitar bulan Oktober/November. Kita memainkan drama berjudul “Adi dari Trunyan”, sebuah naskah hasil rombakan dari naskah yang aku lupa judul aslinya, dibawa Adhi Tiana sebagai oleh-oleh sepulang dia dari Jakarta, menerima hadiah juara 2 lomba cipta cerpen tingkat nasional. Adhi Tiana sendiri yang menyutradarai pementasan ini, aku membantu sebagai asisten sutradara, dengan pemain-pemain didominasi anak-anak kelas 1, angkatannya Kojek, Chamot, Ariani, Boyk, dkk.
Aku lupa naskah ini bercerita tentang apa. Yang aku ingat, Adhi Tiana menginginkan ada seseorang yang berperan sebagai patung manusia hiasan, posisinya berjongkok di atas sebuah lemari yang cukup tinggi. Semula, Adhi menunjuk Rai Lembut, anak kelas 1 yang bertampang lembut tapi berhati sangar, untuk memerankan patung itu. Pada awalnya Rai menyanggupi. Tapi dia tidak pernah datang pada saat latihan. Tidak apa-apa, toh peran ini pada dasarnya tidak memerlukan latihan, karena tugasnya hanya jongkok diam sepanjang pementasan.
Ternyata, sampai hari-H pementasan, Rai Lembut tidak juga muncul. Adhi Tiana tetap tenang. Aku pikir, dia akan membatalkan niatnya untuk menghadirkan sebuah patung dalam pementasannya. Ternyata tidak! Beberapa saat sebelum pementasan dimulai, dia mendatangi aku, masih dengan tampang tenang dan bijaksananya, meminta aku untuk menggantikan Rai Lembut! Aku berpikir, sebenarnya Philips yang lebih membutuhkan peran itu. Sebuah peran yang menjadikan dia ada sepanjang pementasan. Peran yang sangat diidamkan oleh Philips! Sayang sekali, saat itu dia juga tidak ada. Akhirnya, dengan sedikit terpaksa, aku menyanggupi permintaam Adhi Tiana. Demi seorang teman, tidak apa-apalah aku berperan sebagai patung.
Maka terjadilah. Dalam sebuah pementasan, aku selalu berada di atas panggung, tapi tidak sebagai pemeran utama, karena aku hanya menjadi patung hiasan. Di menit-menit awal, aku masih bisa fokus, berjongkok diam dengan hanya menatap pada satu titik. Tapi siapa yang tahan berlama-lama seperti itu! Aku mulai melirik-lirik dengan berusaha tanpa menolehkan kepala, mencoba curi-curi melihat pementasan, atau sesekali melirik penonton. Lama-lama capek juga. Bosan. Ah, peduli amat. Aku bergerak, toh penonton juga tidak peduli. Penonton juga sepertinya tidak tahu kalau aku berperan sebagai patung.
Sampai pada puncak kebosananku, dan didukung dengan adegan chaos di atas panggung, setiap pemain berteriak-teriak tidak jelas, keluar masuk panggung silih berganti. Entah ide dari mana, akhirnya aku memutuskan untuk terlibat dalam adegan chaos itu, dengan ikut berteriak lantang, “AKU BOSAN JADI PATUNG! AKU BOSAN JADI PATUNG! AKU BOSAN JADI PATUNG!!!”
Sejenak, beberapa pemain terkejut dengan teriakanku, sepersekian detik mereka menghentikan aktivitas chaos-nya. Tapi untung, sepersekian detik berikutnya mereka sadar dan kembali ke pementasan. 😀
Aku bosan jadi patung! Aku bosan jadi patung! Begitulah. Pernah, dalam sebuah pementasan, aku selalu berada di atas panggung, tapi tidak sebagai pemeran utama, dan, “Aku sungguh bosan menjadi patung….”
huakakakakakakakakakakaka
untung jadi patung manusia, bukan jadi pohon atau boneka kelinci. 😉
untung tidak disuruh jadi sumur atau obor di “orang asing” PSR 97. kahkahakh..
Ayo bernostalgia lagi! 😉