Bersahabat dengan Ahli Kubur
Ada satu tehnik yang biasanya dilakukan untuk pendalaman peran. Ketika kita akan berperan sebagai pembantu rumah tangga, maka cobalah untuk menjadi babu di sebuah rumah. Ketika kita akan berperan sebagai orang gila, maka cobalah untuk bergaul selama beberapa hari di Rumah Sakit Jiwa. Dan seterusnya.
Itu juga yang coba aku lakukan ketika akan berperan sebagai Pak Dul dalam naskah Komidi Sebabak, pada Lomba Drama Modern PSR tahun 1996. Pak Dul adalah seorang penggali kubur. Setting panggung Komidi Sebabak adalah di sebuah kuburan. Sore itu, setelah latihan berakhir, Eka Sucahya sang sutradara tiba-tiba nyeletuk, “Wir, cobalah ntar malem kau pergi ke kuburan. Rasakan suasananya.”
Lalu aku dan beberapa kawan menyusun rencana. Ditetapkan tiga kandidat kuburan yang akan dikunjungi. Kuburan di Hayam Wuruk, kuburan di Kenyeri, atau kuburan di jalan menuju Padang Galak dari WR Supratman. Kata temen-temen, kuburan yang terakhir ini yang paling angker. Tapi yang terpilih akhirnya adalah kuburan di Kenyeri, kuburan yang paling dekat dengan rumah Wahyu Dhyatmika, juga di Kenyeri, markas kita waktu itu.
Sekitar jam setengah dua belas malam, aku dan beberapa kawan mulai berjalan kaki dari rumah Wahyu menuju kuburan, yang hanya berjarak sekitar 30 meter. Kuburan Kenyeri ini melintang dari Jalan Kenyeri ke Jalan Ratna, sekitar 50-an meter. Dari Kenyeri, kita masih berjalan bersama melintasi kuburan menuju Ratna, sambil sesekali tertawa, dan aku belum merasakan apa-apa.
Sampai di ujung Ratna, adrenalinku mulai bergolak. Kini saatnya aku bertualang sendiri melintasi kuburan, sementara kawan-kawan menunggu di Ratna. Hhh… persahabatan dengan ahli kubur kumulai. Selangkah, dua langkah, tiga langkah, semakin melangkah semakin terasa detak jantungku. Ingin rasanya berlari saja, agar sesegera mungkin sampai di ujung Kenyeri. Tapi demi persahabatan yang baik, kupaksakan diri untuk menjaga kestabilan langkah, tetap memberanikan diri. Kira-kira di pertengahan kuburan, kuhentikan langkah, kupandang berkeliling setiap gundukan tanah di sana satu persatu, mencoba menyapa para ahli kubur. Aku hanya tahan beberapa detik, lalu kulangkahkan kakiku cepat, lebih cepat, lebih cepat lagi, sampai akhirnya tiba juga di Kenyeri. Fiuh….
Masih beberapa menit sebelum kawan-kawan menyusul, yang bisa kulakukan hanya duduk di trotoar jalan, menunggu. Merasakan kembali perasaan yang terasa sebelumnya. Kendaraan yang sesekali lewat membunyikan klakson. Lalu lega sekali rasanya ketika terdengar sayup tawa kawan-kawan dari kejauhan. Berakhir sudah. Malam itu kita lanjutkan di Kumbasari, dengan aku masih membawa suasana kuburan.
Oleh-olehku dari pengembaraan di kuburan ini hanyalah sekeping medali seng, alias peringkat ke-4 pemeran pria terbaik, dan team Komidi Sebabak mempersembahkan emas untuk penampilan terbaik. Eka Sucahya juga berhak atas medali emas sebagai sutradara terbaik. Sungguh indah persahabatanku dengan para ahli kubur.
Pancho, thanks udah mampir. Iya, blog ini juga dimunculkan karena rasa kangen yang begitu dalam. Hahaha… rupanya kita sama2 anak kuburan. Seru, seru banget. Mmm… Dokter Arya, itu memang adik saya.
kamu masih inget ya aku minta jalan2 ke kuburan??? hehehehe aku juga inget kalau kalian pada gak mau deket2 aku kl udah mau pentas..karena aku suka tiba2 punya ide menambah sesuatu di pementasan…hehehehe…seru seru seru…ayo mentas lagi…eh btw..apa kabar anak angin sekarang??
Hahaha… kok mau-maunya aku dibodoh-bodohi Sucahya supaya jalan-jalan ke kuburan ya? Hehehe… kalau semua ide gilamu kita tampung, bisa-bisa rusak konsentrasi kita dalam pementasan nantinya. Ayo mentas lagi… tanggal 27 Desember 2008 kita mau ngadain Bengkel Kangen Angin lho. Dan anak angin juga garap pementasan untuk Januari 2009. Ayo pulang, Ka.
itu bukan pembodohan wir..tapi pertunjukan kekuasaan sutradara terhadap para pemainnya..hahahaha…enggak kok wir..aku cuma ingat pesan putu satrya..kalao memerankan suatu tokoh..apapun itu..harus total..aku gak tau apa kalian sudah di angin belum pas aku main naskah “perempuan perempuan”??? yg settingannya cafe pinggir pantai?? kita musti bawa pasir pantai pake semua kotak tempat sampah disekolah (baca : kita pinjam kotak sampahnya dan kita kembalikan lagi..walaupun tidak semuanya kembali ke tempat semula) kita bawa juga piano mati untuk properti..aku terpaksa jalan2 ke hampir semua cafe di kuta untuk dapet atmosfirnya…hahahahaha gak mungkin balik pas tanggal pementasan wir..salam aja..upload ceritanya dan kl bisa foto atau video pementasan..
Perempuan Perempuan. Itu aku masih kelas 3 SMP. Huahahah… klo aku disuruh jalan-jalan ke semua kuburan yang ada di Denpasar, bisa-bisa aku mati jalan-jalan… hihihihi…. OK deh, nanti kalau ada yang menarik dari pementasan kita, cerita dan dokumentasi nya akan kita share.
“Perempuan-perempuan” itu dimainkan saat PSR 1993, di gedung SMK di Jalan Ratna. Waktu itu aku main di naskah lain, komedi, karya Putu Satrya, aku jadi satpam. Saking komedinya, di tengah-tengah naskah, Agus Merdeka, Budi Besi, Phala, gantian masuk ke panggung, tanpa diundang, kadang-kadang jadi penonton yang protes, yang lalu diseret keluar, kadang jadi sutradara yang marah-marah, lalu diseret keluar. Pokoknya kacau. Dengan alasan improvisasi, semua ‘interupsi’ itu tidak disampaikan dulu kepada aktor di atas panggung, yang cuma bisa keheranan melihat para senior Angin ini bolak balik naik ke panggung, memotong adegan. Akibatnya, setiap kali Agus teriak-teriak di antara penonton, lalu naik ke atas panggung, aku langsung deg-degan. “Ada apa lagi nih? Harus direspon kayak apa lagi nih?” ……Rasanya lega sekali, ketika pementasan berakhir….. teror Agus Merdeka pun berakhir.
Hahaha… aku selalu bergairah mendengar cerita ini. Cerita tentang penonton yang ikut meramaikan pementasan dengan spontan. Waktu pertama kali mendengarnya, ada keinginan untuk mengalami dan melakukannya suatu saat. Entah sebagai pemain yang mesti berimprovisasi dengan kehadiran penonton yang tiba-tiba, maupun sebagai penonton yang tiba-tiba masuk ke sebuah pementasan dengan spontan untuk mendapatkan improvisasi pemain. Tapi sampai sekarang tidak kesampaian. Yang pernah aku lakukan hanyalah merusak pementasannya Adhi, ketika diminta berperan sebagai hiasan patung. Di akhir pementasan dengan adegan kacau balau, akhirnya si patung berteriak, “Aku bosan jadi patung! Aku bosan jadi patung!” Huahahah….
hahahaha aku inget nih malam ‘kekacauan’ ini…hahahaha what a journey..
Ah, sayang sekali aku tidak ikut dalam kekacauan itu. Pastinya seru banget… hiks….
Bli Wira…aku jadi kangen masa2 latihan drama. hehehepengen banget rasanya naik panggung lagi nih…pasti seru sekali waktu berada di sema itu..aku juga pernah berada di tengah kuburan jam 12 malam untuk naruh sajen…yah mengerikan juga..dan seru juga…Bli Wira kakaknya Kak Arya kan ya???udah jadi dokter blum dia???hehehehehe