PSR
Sejak dulu, tahun 1990-an atau sebelumnya, dan mungkin juga sampai sekarang, ajang Pekan Seni Remaja (PSR) Kota Denpasar menjadi arena persaingan bagi anak-anak Smansa dan Trisma. Kedua sekolah ini secara bergiliran menjadi juara umum dari tahun ke tahun, dan berhak untuk menyimpan piala bergilir selama setahun di sekolah masing-masing jika menjadi juara umum. Piala bergilir tersebut otomatis akan menjadi piala tetap, disimpan selamanya di sekolah, jika berhasil menjadi juara umum selama tiga tahun berturut-turut.
Namun, piala bergilir tersebut tidak pernah meningkat statusnya menjadi piala tetap, karena setiap dua tahun juara umum biasanya akan berganti. Dua tahun Smansa, dua tahun berikutnya Trisma, dilanjutkan dua tahun setelahnya Smansa, dan begitu seterusnya. Hal ini bahkan dijadikan anekdot, bahwa panitia seolah-olah tidak rela piala bergilir berubah status menjadi piala tetap, karena itu artinya ada tambahan biaya untuk membuat satu piala bergilir lagi, sehingga dibuatlah juara umum berganti setiap dua tahun. Benarkah demikian? Mungkin saja sih… iya kan…? Tapi tidak lah. Kita harus tetap percaya dengan integritas para juri, walaupun mungkin kita merasa kecewa ketika merasa tampil lebih bagus namun tidak menang, karena keindahan seni itu relatif, dan keputusan juri tidak dapat diganggu gugat.
Waktu saya kelas satu, dua tahun sebelumnya Smansa telah mendapat ‘giliran’ untuk menjadi juara umum, sehingga banyak senior yang mengingatkan agar tidak terlalu berharap untuk menjadi juara umum, walaupun tetap harus menampilkan yang terbaik. Dan benar saja, yang menjadi juara umum tahun itu adalah Trisma, sehingga piala bergilir berpindah ke Trisma. Namun lucunya, waktu saya kelas dua, ketika akan digelar PSR berikutnya, utusan panitia yang bertugas untuk mengambil piala bergilir ke sekolah, malah datang ke Smansa. Lho, pialanya kan lagi ada di Trisma? Kok panitia lupa sih? Ndak bagus nih, pencatatan juaranya… atau jangan-jangan, tahun lalu itu emang seharusnya Smansa yang juara? Bisa jadi sih… hihihi…. Selanjutnya, pola tetap berulang. Waktu saya kelas dua, Trisma lagi-lagi menjadi juara umum. Dan piala bergilir itu kembali ke Smansa waktu saya kelas tiga.
Teater Angin ikut berpartisipasi dan berkontribusi dalam perolehan medali Smansa, dalam ajang Lomba Drama Modern (LDM). Ada empat emas yang diperebutkan, yaitu penampilan terbaik, sutradara terbaik, pemeran pria terbaik, dan pemeran wanita terbaik. Namun biasanya tidak ada teater sekolah yang berhasil menyapu bersih keempat emas tersebut. Paling banyak tiga emas, namun biasanya dibagi rata masing-masing dua emas untuk Teater Angin dan Teater Tiga.
Namun pernah, Teater Angin mengalami masa puncaknya, ketika digawangi oleh Kojek dan Chamot, dengan ketuanya Ariani. Saat itu Angin berhasil menyapu bersih empat emas yang tersedia di ajang LDM, dengan tambahan satu emas dari lomba baca puisi yang diraih oleh pembaca puisi fenomenal, Candra ‘Idiot’. Bahkan, katanya, jika saja saat itu Teater Angin memisahkan diri dari Smansa dan mengusung sendiri benderanya, maka Teater Angin lah yang akan menjadi juara umum. Lihat saja! Selain lima emas di atas, banyak talenta angin yang juga meraih medali di ajang seni lainnya. Boyk dan Predi menguasai lomba poster. Gung Dewi dan Eka Suyasa melenggang mulus pada lomba busana adat ke pura. Eka Suyasa, lagi-lagi berkibar pada lomba keroncong/seriosa, ditemani Asti. Lomba kidung, ada Dewi Abiansemal. Luar biasa! TOP!
