MAS = Malam Apresiasi Sssttt… [1]
Malam Apresiasi Sastra Teater Angin 2010, telah sukses digelar pada 29 dan 30 Januari 2010. Aplause dan salut pantas dilayangkan kepada anak-anak angin, untuk kerja keras yang telah dilakukan. Sekali lagi anak-anak angin mampu menunjukkan eksistensinya dalam aktifitas kreatif. Mereka tidak hanya berhasil dalam melanjutkan tradisi turun temurun, tapi juga telah mendapatkan pembelajaran yang sangat berarti, dalam mengorganisir sebuah event, mulai dari persiapan, sosialisasi dan kerja sama dengan pihak-pihak terkait, sampai pada kesuksesan dalam menampilkan pementasan yang layak untuk dinikmati.
Pola pelaksanaan MAS tahun ini tidak beda jauh dengan pelaksanaan tahun sebelumnya. Hari pertama menampilkan pementasan dari undangan, yang didominasi oleh kelompok-kelompok teater sekolah se-Bali. Sedangkan hari kedua, saatnya anak-anak angin kelas 1 unjuk kebolehan dalam sebuah pementasan tematik bertema “Konflik”, menggabungkan drama modern, teaterisasi puisi, dan musikalisasi puisi, dengan core naskah “Malam Jahanan” dari Motinggo Boesje.
Hari pertama, berbeda dengan tahun sebelumnya yang didominasi oleh musikalisasi puisi, tahun ini pementasan para undangan lebih variatif, dengan menampilkan drama modern, monolog, baca puisi, teaterisasi puisi. Sedangkan musikalisasi puisi hanya ditampilkan oleh alumni angin. Saya sangat dikejutkan dengan keseriusan sebagian besar undangan dalam pementasan mereka masing-masing. Kredit lebih pantas diberikan kepada Teater Blabar (SMA 4 Denpasar) dan Teater Antariksa (SMA 7 Denpasar) dengan penampilan drama modern, yang di mata saya terlihat tidak main-main. Dengan durasi yang relatif panjang, tentu saja diperlukan persiapan serius dan matang. Saya salut dengan hal tersebut, karena untuk event non-lomba seperti MAS ini, mereka tetap serius dalam garapannya.
Hanya saja, perlu saya berikan sedikit catatan. MAS, yang sedianya dipergunakan sebagai malam untuk mengapresiasi sastra, telah bergeser maknanya kalau dilihat dari perilaku sebagian besar penonton. Kalau boleh saya pelesetkan, MAS sudah menjadi Malam Apresiasi Siapa, atau bisa juga Malam Apresiasi Suporter. Ketika masing-masing penampil telah menunjukkan keseriusan mereka, sangat disayangkan kalau penonton tidak memberikan apresiasi terhadap keseluruhan penampil. Dalam memberikan apresiasi, sebagian besar penonton masih melihat siapa yang tampil. Setiap penampil seperti memiliki suporter masing-masing. Saya bisa mengatakan hal seperti ini, karena melihat kenyataan bahwa ketika satu penampil telah menyelesaikan penampilannya, tepuk tangan dan teriak penonton sangat meriah, diikuti dengan menghilangnya para penonton dari kelompok yang memberikan tepuk dan teriak yang paling kencang. Kejadian demikian hampir berulang untuk sebagian besar penampil, sehingga saya menyimpulkan dengan sepihak, para penonton ini, hanya men-suport kelompoknya masing-masing. Tapi, tentu saja, analisa saya ini kemungkinan salah besar.
Atau, kenyataan yang lebih parah, MAS boleh juga dipelesetkan menjadi Malam Apresiasi Ssst…! Hampir setiap beberapa menit, akan terdengar desisan “ssst…” entah dari siapa, yang tentu saja untuk merespon kegaduhan yang dibuat oleh sebagian penonton. Kegaduhan bukannya berhenti, tapi malah ditambah dengan ssst yang sambung menyambung.
OK, kini saatnya untuk melihat penampilan anak angin di hari kedua. Sebelumnya, saya mohon maaf kepada anak-anak angin, karena tidak sempat untuk ikut duduk melingkar di akhir pementasan, untuk memberikan sedikit pandangan sebagai evaluasi. Segera setelah pementasan berakhir, saya harus mengantar pulang “penonton di sebelah saya”, karena sudah diburu jam malam. Rencananya, begitu penonton di sebelah saya ini selamat sampai di rumah, saya segera kembali untuk sekedar ikut menyampaikan “omong kosong”. Tapi apa daya, begitu saya tiba kembali dalam lingkaran, sesaat kemudian acara ditutup karena memang sepertinya hampir semua yang hadir telah memberikan pandangannya. Memang saya sempat diberikan kesempatan, tetapi karena nafas saya belum cukup stabil, saya melewatkan kesempatan tersebut. Lagipula, saya melihat beberapa anak angin yang tampil malam itu tidak ikut ada dalam lingkaran, karena sebelumnya sempat berpapasan di parkiran dan sekitar perjalanan menuju aula. Saya pikir, jika sebagian penampil tidak ikut mendengarkan evaluasi, agak rugi juga cuap-cuap… hehe… terlalu banyak alesyannn…. 😉 [to be continued]
Gantet ndak nonton. Dia masih sibuk mongkot punyan nyuh, biar sinyal HP-nya full buat nelpon Gek… Sing keto Tet?
Review yang menarik…. tapi memang agak susah berharap ada “apresiasi” yang serius Wir, jika acaranya dibuat gratis dan di tempat terbuka. Kalau mau, aula itu ditutup kain atau papan, lalu ada sistem ticketing dengan harga sepantasnya. Dengan demikian, ada seleksi. hanya penonton yang serius ingin mengapresiasi saja yang akan rela merogoh kocek untuk menonton. Ini sekadar ide.
Soal pementasannya sendiri, ide kawan2 menarik: menggabungkan puisi dan teater dengan menggunakan naskah drama sebagai basis. mungkin tahun depan, diberanikan diri menulis naskah drama sendiri? lalu naskah terbaik dipentaskan?
Gek ane mongkod aq,lo hehe. Btw, pementasan teater ditiketin? Dijamin sepiiiii wakakakaka
sing kok yee
waktu ETEC aj nggak 😛
wah setuju sama Wahyu II. dengan adanya sistem tiket barangkali tiap pementasan akan lebih dihargai. kalo tidak salah teater la jose dari SMAK santo yoseph juga pakai sistem tiket, alhasil penonton tertib dan mengapresiasi pemnetasan bukan karena mereka supoter dari tim yang pentas.
teater salihara pun demikian. dengan harga tiket di atas 25-100ribu pun semua tiket sold out. namun yang perlu diperhatikan mungkin sistem kuratorialnya, karena kalau dilihat pementasan MAS beberapa tahun terakhir ini mengundang teater-teater lain.
siapa tuh di sebelahmu Lo?
gantet?