Tentang Usulan Pelaksanaan LDM
Semenjak keributan pada tulisan Doa Lingkaran, saya menyadari perlunya ditambah disclaimer pada setiap tulisan, terutama tulisan yang berpotensi menimbulkan kontroversi, bahwa setiap tulisan di blog ini menjadi tanggung jawab pribadi penulis, dan tidak ada kaitannya dengan Teater Angin secara resmi.
Pada penutupan Malam Apresiasi Sastra (MAS) Teater Angin (TA) tahun 2025 tanggal 16 Juli di Aula SMAN 1 Denpasar, Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Bali, Putri Suastini Koster (Ibu) berkesempatan hadir untuk melihat pertunjukan anak-anak TA, dan “mungkin” sekaligus memantau sumbangan 65 juta-nya menjadi apa. Sepertinya Ibu puas, dan kembali bersedia menggelontorkan dana kepada TA untuk dapat menyelenggarakan Lomba Drama Modern (LDM) SMA/SMK se-Indonesia. Jangan khawatir mengenai dana, kata Ibu, karena beliau 100% siap support.
Saya ingin berpendapat tentang empat hal, satu diantaranya 100% tidak sepakat, dan tiga sisanya fifty-fifty: 1) support 100% dana dari Ibu; 2) LDM; 3) SMA/SMK; dan 4) se-Indonesia.
Tentu saya tidak sepakat jika kegiatan TA dibiayai penuh oleh Ibu. Kita bukan generasi aji mumpung, yang dapat memanfaatkan alumnus atau alumni dalam pembiayaan setiap kegiatan. Sebagai sebuah proses pembelajaran, hendaknya kita mampu membuat proposal dan mempresentasikan dengan baik, sehingga pihak sponsor atau donatur tergerak untuk ikut dalam pembiayaan. Saya tidak sepakat dengan donatur tunggal, hanya membuat kita manja. Bisa sampai kapan kita tergantung dengan donatur tunggal? Sampai si donatur tidak punya posisi strategis atau kekayaan melimpah lagi? Dengan kata lain kita harus berharap si donatur tunggal selalu memiliki posisi strategis atau kekayaan melimpah? Mengikutsertakan alumni atau memanfaatkannya dalam pembiayaan kegiatan boleh saja, tapi sebaiknya dilakukan melalui proses dan jalur yang melatih keterampilan kita.
Mengenai LDM, TA sudah memiliki Lomba Tahunan Teater Angin (Lautan). Bisa saja LDM kita masukkan ke dalam Lautan. Saya tidak memiliki data yang akurat, apakah sebelumnya pernah menyelenggarakan LDM pada Lautan. Jika ada datanya, kita bisa belajar dari pelaksanaan sebelumnya, apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan saat itu. Hasil evaluasi dapat dijadikan pertimbangan dalam melaksanakan atau tidak LDM. Perlu diketahui, cikal bakal Lautan sebenarnya adalah LDM SMA/SMK se-Bali yang diselenggarakan TA tahun 1993. Saat itu pelaksanaan LDM dirasa berat, sehingga tidak dilanjutkan, lalu beralih rupa menjadi Lomba Cipta dan Baca Cerpen (LCBC) tahun 1996. Lomba Cipta Cerpen untuk masyarakat umum se-Indonesia, sedangkan Lomba Baca Cerpen untuk siswa SMP se-Bali.
Terkait peserta, saya tidak melihat adanya urgensi melibatkan peserta jenjang SMA/SMK. Tergantung dari tujuan pelaksanaan lomba. Bagi saya, lebih masuk akal jika tujuan lomba adalah mencari bibit-bibit baru dari jenjang SMP, sekaligus menarik minat mereka untuk menjadi anggota TA berikutnya. Lomba jenjang SMA/SMK biarlah menjadi tanggung jawab institusi yang lebih tinggi, misalnya perguruan tinggi atau instansi pemerintah dan swasta. Lalu jangkauan lomba, apakah perlu se-Indonesia? Sekali lagi disesuaikan dengan tujuan. Kalau pendapat saya, jika kembali ke pencarian bibit, maka cukup se-Bali saja. Anak-anak SMP di luar Bali tentu sangat kecil kemungkinannya akan melanjutkan sekolah ke SMAN 1 Denpasar. Bukan berarti saya menolak pelaksanaan LDM SMA/SMK se-Indonesia, silahkan disesuaikan dengan tujuan.
Kepada Ibu Putri Suastini, dengan tidak mengurangi rasa hormat, saya mohon Ibu tidak memanjakan anak-anak TA dengan gelontoran dana tak terbatas. Saya berterima kasih atas perhatian Ibu, tapi support dana secukupnya saja, biarkan anak-anak belajar dan berproses dari berbagai segi. OK, Ibu adalah alumnus TA, tentu memiliki ikatan emosional yang dalam terhadap TA, dan mungkin ada kebanggaan tersendiri jika TA mampu menggulirkan LDM SMA/SMK se-Indonesia, apalagi dengan sokongan dana penuh dari Ibu. Tapi setahu saya, maaf jika salah, Ibu juga alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Udayana. Kalau tidak salah lagi, di sana ada Teater Equilibrium yang pernah mengadakan Equilibrium Theatre Competition (ETeC) sejak 2009, yang dalam penelusuran saya (mungkin tidak akurat) terhenti pada 2014. ETeC merupakan LDM SMA/SMK se-Indonesia. Boleh sebagian dana Ibu alihkan ke sana, untuk membangkitkan kembali ETeC. Atau, untuk mengobati kerinduan akan geliat teater remaja di Bali, Ibu memiliki saluran yang lebih proper, misalnya dengan membisiki Pak Gubernur agar menggerakkan misalnya Dinas Pendidikan atau Dinas Kebudayaan untuk menyelenggarakan LDM dimaksud.
begitu kira-kira.