Membanting Lidah
PSR 1996, Teater Angin memutuskan untuk mengirim tiga kelompok dalam Lomba Drama Modern. Komidi Sebabak dengan sutradara Eka Sucahya, Orang Asing disutradarai Adhi Tiana, dan RSU yang digarap Wahyu Dhyatmika.
Entah apa yang ada dalam pikiran Eka Sucahya sewaktu memutuskan untuk memilih aku sebagai pemeran Pak Dul yang disutradarainya. Kemampuan aktingku sangat pas-pasan, dan kupikir Sucahya tahu itu. Semula aku lebih condong untuk bermain dalam RSU yang naskahnya tidak seserius Komidi Sebabak. Tapi karena desakan Sucahya, aku hanya bisa pasrah.
Kepasrahan itu membawa bencana buatku. Karena kemampuan akting yang paling buruk dibanding pemain lain seperti Kardena dan Ika Permata Hati, maka aku harus merelakan diri untuk latihan mandiri. Kadang berdua dengan Sucahya, kadang hanya sendiri.
Hal terbesar yang paling diperhatikan oleh Sucahya adalah masalah logat. Iya, lidahku yang ke-Bali-an harus dipermak. Pak Dul bukan orang Bali, dia orang Jawa. Jadilah aku tidak hanya membanting tulang dalam latihan, tapi juga membanting lidah. Dengan susah payah Sucahya mengarahkan aku dalam membedakan pelafalan “d” dan “t”.
“T! Ucapkan itu sambil menggigit lidahmu! Jangan dengan meletakkan lidah di langit-langit mulut! Itu D!” hanya itu teori yang aku ingat.
Lalu, setelah dianggap berhasil dengan td, td, td, latihan berikutnya adalah pengucapan Assalamualaikum. Sebagai orang yang pernah dibesarkan dalam lingkungan Islam, Sucahya tahu betul bagaimana mengucapkan Assalamualaikum dengan benar. Aku tidak. Maka berkali-kali aku mesti mengucapkan Assalamualaikum sampai Sucahya puas.
“Assalamualaikum, ya ahli kubur….”
Latihan selanjutnya, memainkan sarung. Properti Pak Dul yang utama selain sekop adalah sarung. Aku harus bisa sesekali memainkan sarung di sela-sela dialogku. Mulai dari disarungkan biasa, dikerudungkan ke punggung, diselempangkan menyilang di dada, sampai menjadi ikat pinggang.
Dan latihan-latihan lain yang aku lupa detailnya. Termasuk bagaimana bermain dengan kelinci. Begitulah. Kepasrahan yang membawa bencana. Tidak jarang Sucahya membentakku habis-habisan. Setelah aku dirasa siap latihan bersama dengan pemeran lainnya, barulah Sucahya menghadirkan Kardena dan Ika. Hhhh… akhirnya penderitaan itu kini terbagi dengan mereka berdua.
Huahahah… kelinci dalam sarung… rasanya geli-geli gimana, gitu…. Hueheheh, Jer memang selalu lihai dalam bermain kata-kata. Belajar dimana Jer? Saya juga mau selihai Anda… hihihi….
Dimana skrg Eka Sucahya ya? dulu dia pernah jadi reporter Indosiar…
Sepertinya Sucahya masih di Indosiar deh. Profilnya ada di Facebook, coba search Eka Sucahya. Beberapa hari lalu saya request untuk jadi temennya, tapi sampai saat ini belum ada respon.
selalu ada alasan dari sebuah kejadian,
membanting lidah itu pun ada alasannya,
pasti jika bukan kamu yang terpilih ceritanya jadi berbeda Lo!
dan aku yakin itu tidak lebih baik!
Wah wah wah… setelah jadi dosen, menikah, dan terjun ke dunia politik, Pak Arsa a.k.a. Dogler semakin bijaksana saja….
wah, hanya meneruskan apa yg ada di hati saja,
konon akan sampai di hati juga, ah, agar tak berhenti sebatas konon praktek langsung aja Bli,hihi
Konon sudah saya praktek kan tuh… Tapi konon belum sampai juga di hati… Ah, konon, mampir kemana dirimu? Kenapa belum juga sampai di hati? 🙂
Kok gak cerita, kau sampai harus latihan penghayatan di kuburan Wir? Kita malem-malem ke setra di Kenyeri yang terkenal tenget itu, dan kamu melintasinya sendirian, dengan penuh penghayatan… Juga, supaya kamu lebih menghayati, tanah yang kita pakai sebagai properti panggung, kita benar-benar ambil dari kuburan. Kali ini dari Setra di jalan Turi, yang juga angker itu. Ngambilnya malem2, sambil was-was, takut dikira pencuri mayat..hiiiiiiiii…..
Hah? Masak tanah itu diambil dari kuburan? Wah, kamu telah meruntuhkan teoriku bahwa tanah itu adalah galian septic tank pamannya Adhi. Cerita [Tanah Septic Tank untuk Hasim] jadi kehilangan maknanya deh. Ketahuan aku ngarang… hihihi….
oh ya aku tidak ikut waktu ke kuburan penghayatan wira. tapi yang jelas rumahmu wahyu jadi markas paling dekat tempat tidur he…hee
Markas angin, sarangnya para Anak Muda!
hahahahaha…
masak aku sekejam itu sama kau wir??? walaupun sudah belasan tahun berlalu..aku minta maaf atas perasaan tersiksamu..hahahaha cuman kau harus akui…kita selalu tampil full energi setiap mentas…
Huahahah… maaf Ka, mungkin bahasaku terlalu berlebihan. Kamu tidak sekejam yang aku tulis kok, tapi… lebih kejam! Hihihihi…. Biar bagaimanapun, aku mesti berterima kasih sama Sucahya. Kalau aku tidak pernah mengalami siksa latihan yang begini, mungkin saat ini aku akan menjadi orang yang cepat menyerah, lekas putus asa. Untuk mencapai sesuatu yang ideal, kita harus berjuang dengan sepenuh energi, seberat apapun siksaan yang terasa. Siksa latihan itu sedikit tidaknya telah membentuk karakterku. Thanks.
wah, sy tahu knp Bli Eka memilihmu Bli, krn dirimu yg paling pasrah.hahaha. jika ada kucing dalam karung, jangan2 Bli Wira ini pernah mengalami kelinci dalam sarung, wakakaka
btw, atas usaha berlatih seperti itu, salut!